Deepapsikologi.com — Kejujuran adalah harta yang mahal. Manusia mudah diyakinkan apabila dalam kondisi biasa atau netral, tetapi mereka menjadi susah percaya apabila pernah dibohongi. Kejujuran dan kebohongan seakan memiliki kekuatan sangat besar apabila dimasukan dalam Classical Conditioning ala Pavlov. Sebuah kebohongan bisa menghilangkan pengaruh stimulus lain sehingga orang susah untuk percaya lagi. Terkadang satu kebohongan besar tidak bisa diobati dengan satu atau beberapa penebusan kesalahan. Orang yang terlanjur dibohongi, tidak mudah percaya lagi. Bahkan orang akan menghindari si pembohong. Kebohongan adalah hukuman (punishment) bagi orang yang percaya dengan kebohongan tersebut. Lalu bagaimana kebohongan-kebohongan bisa dibuat begitu indah sehingga banyak orang yang terperdaya.
Kasus Keraton Agung Sejagat
TSH (42 tahun) dan Kanjeng Ratu (41 tahun) ditahan pihak Kepolisian Jawa Tengah pada 14 Januari 2020. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan 1). TSH adalah orang sama yang mendirikan Jogja Development Commite (DEC) dan memberikan janji-janji manis kepada anggotanya dengan modus pendidikan dan kemanusiaan 2).
Kepada pengikutnya, TSH mengatakan bahwa Keraton Agung Sejagat (KAS) adalah ahli waris Majapahit dan pemegang kekuasaan di seluruh dunia, melebihi Eropa dan Amerika Serikat. Totok menjanjikan jabatan dan gaji dari pencairan dana internasional. Orang-orang yang percaya bahkan rela membayar uang keanggotaan dan uang seragam mencapai 3 juta rupiah. Untuk menguatkan pengakuan, Totok sampai membuat sebuah prasasti supaya orang-orang percaya dengan kisahnya. Bahkan ada parade budaya yang diakhiri dengan deklarasi kekuasaan supaya kegiatannya terlihat resmi di mata pengikutnya.
Pada negara dimana hal-hal klenik dan gaib seringkali dijadikan bumbu sebuah perilaku, adalah lahan yang empuk bagi orang-orang yang suka berbohong, membual dan menawarkan halusinasi. Halusinasi terjadi ketika mimpi menyalahi realita. Halusinasi juga terjadi ketika mimpi-mimpi tanpa tindakan yang nyata. Menjual mimpi sering dijadikan komoditi yang laris. Dan antagonisnya adalah sama, yaitu orang yang suka berbohong.
Memahami istilah Gangguan Mythomania
Dalam dunia psikologi, ada sebuah istilah untuk pembohong sejati yaitu mythomania. Psikiater asal Jerman, Anton Delbrueck adalah orang yang pertama kali mencetuskan penyakit ini dengan istilah pseudologia fantastica pada tahun 1891, untuk pasien-pasien yang berbohong secara berlebihan dan terdengar luar biasa 3). Pseudologia fantastica adalah kelainan dimana orang terus berbohong tanpa henti. Kelainan ini kerap diuji dalam bidang forensik untuk mendiagnosa orang-orang dengan dugaan penipuan, membuat tuduhan palsu atau pengakuan palsu. Kebohongan mereka umumnya bertujuan untuk menarik perhatian dan membesar-besarkan kepentingan mereka 4).
Berbeda dengan kebohongan biasa yang kerap dilakukan orang biasa, gangguan mythomania dilakukan secara berulang-ulang dan lebih dramatis. Cerita mereka terperinci, rumit, kaya akan warna dan fantasi. Mereka menempatkan dirinya sebagai korban atau pahlawan dengan tujuan memperoleh simpati dan kekaguman dari orang-orang yang percaya. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan zona nyaman bagi mereka. Bahkan pada tingkat tertentu, pelaku tidak bisa membedakan antara kebohongannya dan khayalan sehingga pelaku justru masuk dalam kebohongan yang dibuatnya sendiri. Mereka memiliki indera persepsi yang tajam sehingga mampu mengelabui firasat orang lain 5).
Kasus ‘Raja’ dan ‘Ratu’ Kerajaan Agung Sejagat diindikasikan Mythomania
TSH alias Penguasa di Kerajaan Agung Sejagat (KAS) tentu belum bisa disebut pengidap mythomania. Akan dibutuhkan banyak pengukuran secara bertahap dan mendalam oleh Psikolog atau Psikiater untuk memvonis ke arah sana. Walaupun gejala-gejala (symptom) gangguan mythomania nampak jelas pada perilakunya dan pengakuan orang-orang sekitar, penegakan diagnosa hanya bisa dilakukan oleh Psikolog profesional. Pada kenyataannya, TSH berusaha meyakinkan orang-orang dengan sejarah dan cerita-cerita palsu. Kekayaan yang diumbarnya pun hanya milik orang lain, seperti rumah kontrakan yang diakuinya milik sendiri.
Banyak faktor bisa menjadi penyebab gangguan mythomania. Kerusakan jaringan otak, harga diri rendah, kebutuhan neurotik, dan hambatan dalam aktualisasi diri. Otak pada mythomania memiliki white matter lebih banyak daripada grey matter. White matter adalah bagian prefrontal cortex yang menyalurkan informasi lebih cepat dan lebih kompleks dibandingkan grey matter. Apabila white matter berjumlah jauh lebih banyak, maka orang mampu berpikir dan mengatakan gagasan lebih cepat, tetapi tanpa kontrol yang ketat. Hal ini yang memicu seseorang mudah berbohong 6).
Harga diri yang rendah bisa memicu orang untuk berbohong. Kegagalan dalam karir, pernikahan, hubungan sosial, dan kegagalan dalam pendidikan meyebabkan inkongruensi. Pada situasi ini terjadi ketidakseimbangan psikologis karena perbedaan (yang cukup jauh) antara konsep diri dan kenyataan yang dialami 7). Inkongruensi bisa menyebabkan perilaku yang tidak konsisten dan sumber kecemasan. Sebagai kondisi yang tidak menyenangkan, kecemasan bisa berubah menjadi ancaman. Ancaman tersebut yang akan memicu seseorang mencoba menyeimbangkan kenyataan dan konsep dirinya. Apabila konsep dirinya terus diperbaiki supaya memperoleh kenyataan yang lebih baik di masa depan, maka dia menjadi individu yang sehat. Akan tetapi apabila kenyataan dipaksakan mengikuti konsep diri, maka orang tersebut mengalami hambatan psikologis. Perilakunya antara lain dengan membohongi orang lain atau membohongi dirinya sendiri.
Mythomania sebagai gangguan psikologis yang karena Neurotik
Gangguan Mythomania bisa disebabkan karena kebutuhan neurotik. Pembohong sejati mengharapkan penerimaan orang lain dan ketakutan akan penolakan. Kebohongan dilakukan supaya dirinya sejajar dengan harapan orang lain. Kebohongan dilakukan sebagai langkah untuk memasukannya ke dalam zona aman. Pembohong sejati juga haus akan kekuasaan dan kekuatan. Dua hal tersebut dibutuhkan supaya dirinya mampu mengontrol orang lain dan dianggap superior. Dengan menjadi orang yang superior, mereka akan dikagumi oleh orang lain.
Kebutuhan neurotik lain pada gangguan mythomania adalah mengeksploitasi orang lain. Selalu ada ide untuk memanfaatkan kelemahan dan kekurangan pada orang lain. Usaha eksploitasi dengan membohongi korban supaya mereka rela menyerahkan atau menyumbangkan harta yang dimilikinya.
Orang-orang yang terhambat dalam aktualisasi diri cenderung menolak beberapa aspek dalam kehidupannya. Penolakan tersebut menyebabkan dirinya menyiasati dengan kebohongan-kebohongan sebagai langkah praktis agar tidak direndahkan orang lain atau teman sebaya. Kebohongan juga bisa digunakan untuk membuatnya tampak unggul di depan orang lain. Kebohongan yang dilakukan secara berulang, apalagi mengandung unsur kenikmatan (pleasure) bisa membuat pelakunya kecanduan dan menjadi sebuah kebiasaan.
Bagaimana Menyikapi Pembohong Besar ?
Lalu bagaimana menghadapi pembohong besar ? Anda perlu tahu bahwa mereka bisa berbohong bahkan untuk hal-hal sepele. Anda jangan marah tetapi cukup dengarkan saja, tidak perlu diambil hati atau dipikirkan. Katakan kepada orang itu bahwa Anda lebih menyukai dirinya apa adanya. Dia harus tahu bahwa dia tidak perlu berbohong apabila ingin dijadikan teman. Tunjukan bahwa Anda peduli dengan memintanya berobat ke Psikolog atau Psikiater 8).
Siapapun kita pasti pernah berbohong. Sebagai manusia normal, kita berbohong ketika merasa terancam atau takut kehilangan sesuatu yang berharga. Tetapi masih menjadi hal yang wajar apabila kita menyadari kesalahan kita dan tidak mengulangi kebohongan di waktu yang lain. Biasakanlah berkata jujur, berkata apa adanya tanpa ditambahkan atau dikurangi, walaupun kita tahu imbasnya tidak menguntungkan. Kita adalah raja bagi diri kita masing-masing, dan jadilah raja yang jujur. Raja yang jujur tidak akan mengidap gangguan mythomania.
Referensi :
1) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200115123401-20-465537/raja-dan-ratu-ditangkap-warga-ramai-datangi-keraton-agung
2) https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2020/01/15/513/1029510/pengakuan-orang-dekat-totok-santoso-raja-keraton-sejagat-tipu-warga-lewat-ormas-dec-diy
3) Thom, R., Teslyar, P., & Friedman, R. (2017). Pseudologia Fantastica in the Emergency Department: A Case Report and Review of the Literature, dalam Jurnal Hindawi, Volume 2017, dari https://doi.org/10.1155/2017/8961256 (Online)
4) Sharma, P.R., Sidana, A., & Singh, G.P. (2007). Pseudologia Fantastica : Case Report, dalam Jurnal Delhi Psychiatry 2007, Vol. 10, No. 1 : 78-80 (Online)
5) Arakelyan, H.S. (2018). Pathological lyar Syndrome-Mythomania, diperoleh dari https://www.researchgate.net/publication/323683318_Pathological_lyar_Syndrome_-_Mythomania
6) Biever, C. (2005). Liars’ brains make fibbing come naturally, diperoleh dari https://www.newscientist.com/article/dn8075-liars-brains-make-fibbing-come-naturally/
7) Feist, J. & Feist, G.J. (2013). Teori kepribadian (S.P. Sjahputri, Penerjemah). Jakarta : Salemba Humanika
8) Santos, A. (2018). How Do I Cope with Someone Being a Pathological Liar, diperoleh dari https://www.healthline.com/health/pathological-liar
_________
Oleh : Epip Nurdiansah (Mahasiswa Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang)