admin No Comments

Deepapsikologi.com — Belakangan informasi banyak tersebar di dunia maya melalui sosial media. Aktivitas orang hampir semua memiliki group whatsapp. Informasi disebarkan mulai dari yang nyata sampai dengan hoax. Begitu pula dengan psikotes yang disebarkan lewat whatsapp, facebook, dan platform lainnya.

Instruksinya disuruh me-klik link, dan diberikan sederetan pertanyaan selama beberapa menit. Hasil dari tipe kepribadian langsung keluar. Juga ada beberapa gambar multitafsir di instagram. Dengan mengetahui gambar mana yang kita ketahui lebih dahulu, maka akan ketahuan lebih dahulu karakteristik kita. Ada juga yang diberikan beberapa contoh gambar. Kita disuruh pilih, gambar mana yang paling sesuai dengan diri kita. Kemudian, dari situ kita diberitahu karakteristik kepribadian kita.

Benarkah psikotes seperti itu? Apakah hasilnya benar-benar mencerminkan diri kita? Mari kita kaji lebih jauh.

Apa itu psikotes?

Sebelum membahas tentang ketepatan cerminan diri dari mengerjakan psikotes media sosial. Kita perlu tahu dulu, apa itu psikotes.

Dari banyak sumber, kami resume bahwa psikotes merupakan serangkaian alat tes yang menggunakan teori psikologi sebagai dasar kajian ilmiahnya. Psikotes adalah salah satu bagian dari asesmen psikologi untuk mengukur aspek-aspek psikologis seseorang. Di dalam psikotes, ada hal yang harus ada dan tidak boleh dihilangkan. Pertama, adanya penanggungjawab keilmuan yang dipegang oleh psikolog. Jika ada hasil yang keluar dari pengerjaan psikotes. Psikolog penjamin bahwa laporan tersebut benar adanya. Psikolog yang menjadi penanggunjawab pun, di syaratkan harus masih aktif dan memiliki ijin praktik/ memiliki SIPP. Karena report psikotes tersebut akan ada bahayanya jika salah judgement dan ditujukan untuk kepentingan organisasi.

Kedua, Psikotes dibangun dari hasil penelitian psikologi. Ada aspek keilmiahan yang harus dipertanggungjawabkan. Seperti universalitas, validitas, dan reliabilitas. Sebelum ditetapkan sah psikotes digunakan dan bisa diaplikasikan untuk massa. Psikotes harus diuji coba dengan penelitian. Apakah penelitian tersebut itu menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Jika sudah ada penelitiannya, berarti ada jejak digital dari jurnal, riset, di sahkan di institusi pendidikan, nama peneliti, dan sebagainya. Psikotes dibuat melalui tahapan yang panjang, karena ada hak intelektual yang harus dipertanggungjawabkan.

Ketiga, psikotes disajikan dan dikerjakan dengan cara yang tepat. Karena psikotes adalah serangkaian alat tes. Tentu salah cara pengerjaan, salah panduan pengerjaan. Hasilnya juga salah. Jika salah cara mengerjakan, maka psikotes tersebut tidak dapat mencerminkan diri oleh orang yang mengerjakannya.

 

Psikotes dan Kuesioner Psikologi

Setelah kita tahu bahwa psikotes harus didasarkan dari kaidah ilmiah yang ketat. Maka, pelanggaran terhadap kaidah tersebut adalah pelanggaran ilmu. Sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Apalagi dalam psikotes media sosial dan yang disebar di whatsapp tidak ada nama orang dengan profesi psikolog sebagai penanggungjawab hasil laporan.

Lain halnya dengan kuesioner psikologi. Kuesioner psikologi ini sering disebar di media sosial dan whatsapp. Tujuannya untuk membantu peneliti mengumpulkan data penelitian. Sangat berbeda dengan psikotes yang hasilnya berupa kesimpulan dari karakteristik individu. Di dalam kajian ilmiah, pengambilan kesimpulan itu harus didasarkan dari kehati-hatian. Harus ada sikap skeptis atau keragu-raguan. Sayangnya di media sosial, banyak konten yang sangat mudah ditarik kesimpulan tanpa pendekatan sistematis. Begitu pula dengan yang mengatas namakan psikotes.

Kuesioner ini dibangun untuk menguji sebuah hipotesa. Merupakan sebuah metode penggalian data yang dibangun dengan cara penyebaran pertanyaan dengan penggambilan syarat sampel dan kriteria tertentu. Kuesioner psikologi tidak memerlukan serangkaian alat tes. Hanya membutuhkan serangkaian pertanyaan yang didapatkan dari penjabaran aspek teori. Ada kriteria syarat jumlah responden dalam kuesioner. Persyaratan ini sudah dibakukan dalam penelitian kuantitatif.

 

Keilmiahan dari psikotes media sosial

Beberapa yang mengatasnamakan psikotes di sosial media cenderung tidak berpijak pada pendekatan ilmu pengetahuan. Menggunakan pendekatan parapsikologi yang teorinya sudah tidak digunakan sejak lama. Karena teori tersebut sudah dibantah kebenarannya oleh teori psikologi yang baru.

Misalnya, psikotes untuk mengukur tipe kepribadian melankolis, sanguis, dan plegmatis. Contoh pengungkapan tipe kepribadian tersebut sering kita dapatkan di sosial media. Padahal itu adalah pandangan filsuf di abad sebelum masehi. Di jaman dari era sokrates, aristoteles, dan plato. Di teori modern, teori itu sudah tidak dipakai lagi. Dan tidak diakui lagi oleh HIMPSI atau PPDGJ, sebagai pijakan dari organisasi dan panduan psikologi.

Beberapa pendekatan tes psikologi yang mengukur otak kanan dan otak kiri dari pandangan pemikiran psikologi juga sering ada di sosial media. Kenyataannya teori tersebut sudah usang dan ditolak keilmiahannnya. Di psikologi modern, tidak dikenal pemikir otak kanan dan pemikir otak kiri.

Kemudian ada contoh gambar yang didalamnya ada beberapa stimulus. Misalnya, ada gambar kakek, anak kecil, ranting pohon, dan binatang. Kita disuruh memperhatikan, gambar mana yang pertama kali dilihat itu yang kemudian dikaji. Hal ini terlalu simpel untuk bisa mewakiliki kepribadian manusia yang kompleks. Dan tentu saja tidak ada satupun bahasan dari penelitian ilmiah yang membahas hal tersebut.

 

artikel terkait: tes psikologi online

dan tes psikotes

Kehati-hatian adalah kunci dalam bersosial media

Benar! Dalam bersosial media kita perlu berhati-hati. Khususnya jika kita iseng untuk mengikuti psikotes sosial media. Kita harus skeptis dan ragu.. apakah psikotes tersebut baku dan sudah terstandarisasi atau belum. Hal ini karena repot dari psikotes bersifat judgement atau penghakiman. Hasil dari psikotes bersifat penggolongan sifat. Jika kita sudah digolongkan dengan karakteristik tertentu dan kita mempercayainya. Maka, akan muncul penanaman nilai diri, ada penghakiman terhadap diri sendiri. Jika laporan psikotes tersebut dibaca oleh orang lain, akan memunculkan stigma penilaian dari orang tersebut.

Dalam kenyataan jika psikotes itu ditujukan ke perusahaan. Maka, hasil psikotes hanya boleh dibaca oleh orang yang punya otoritas. Tidak boleh dibaca oleh semua orang. Karena dampaknya akan tidak baik bagi asumsi publik terhadap penilaian orang yang diberikan psikotes. Sehingga, di dalam surat laporan hasil psikotes selalu dituliskan kata ‘RAHASIA’.

Begitu juga di dunia maya. Kehati-hatian bukan hanya jika kita melihat berita hoax. Tetapi, psikotes sosial media juga banyak yang diberikan sebagai informasi hoax. Banyak hal yang kontroversial tersebar di media sosial. Memang sosial media menawarkan banyak hal menarik. Dengan berbagai pengetahuan yang praktis dan cepat. Namun, semua perlu diuji kebenaran dan keakuratannya. Sebaiknya Anda tidak menelan mentah-mentah informasi di sosial media. Mari kita menjadi lebih bijaksana dengan cara berhati-hati di sosial media. Jangan mudah terhasut dan tersugesti.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *