admin No Comments

Mempersiapkan Pernikahan: Memahami Pernikahan dalam Kacamata Psikologi

Mempersiapkan pernikahan. Salah satu tugas perkembangan kita di usia dewasa awal adalah menikah dan mempersiapkan pernikahan. Pernikahan menurut UU Perkawinan No.1/BAB1 Pasal 1 UUD RI adalah ikatan batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai istri dan suami dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Sedangkan usia dewasa awal berkisar di usia 20 sampai 40 tahun. Di usia ini, seseorang di puncak usia produktif. Beberapa karakteristik usia dewasa awal adalah memantapkan letak kedudukan hidup, usia komitmen. Di fase ini seseorang sudah harus terbentuk pola tanggung jawab dan muncul peran yang dimilikinya. Di tahap ini juga seseorang harus belajar berkomitmen dalam menjalin relasi pasangan.

Sehingga, pada usia dewasa awal, seseorang memiliki tugas mencari dan menemukan pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karir, dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Sehingga, mempersiapkan pernikahan merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan sebagai salah satu tugas hidup, dan juga untuk menjaga pernikahan tetap sehat dan awet.

Mempersiapkan Pernikahan: Memahami Pernikahan dalam Kacamata Psikologi

Konsep Utama Pernikahan

Dengan arti pernikahan yang sudah kami jelaskan di atas. Pernikahan memiliki konsep utama, yaitu :

  1. Adaptasi sepanjang kehidupan pernikahan
  2. Kesadaran bahwa menikah adalah mempertemukan dua orang yang secara esensial berbeda

Konsep perbedaan tersebut mencakup latar belakang keluarga, harapan, pendidikan, kebiasaan dan adat istiadat, pengalaman, cara merespons emosi, perspektif, kebutuhan, serta nilai-nilai yang dianut. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, menjadikan seseorang berbeda dalam memahami sesuatu, bersikap, cara berpikir dan merasa. Sehingga akan memunculkan dua hal yang dapat berbenturan antara suami dan istri. Termasuk memunculkan dua kepentingan dalam satu waktu. Kondisi ini bisa memunculkan konflik dan dorongan untuk saling mempertahankan hak masing-masing.

Baca artikel lainnya, Pola asuh orang tua

dan Psikologi Keluarga

Alasan seseorang ingin menikah

Akan muncul alasan penyebab seseorang ingin menikah. Dari sumbernya, bisa kita bagi menjadi dua sebab, yaitu alasan internal dan eksternal. Alasan internal seseorang ingin menikah berasal dari kebutuhan diri sendiri. Sedangkan alasan eksternal adalah pengaruh dari pihak lain yang mendorong seseorang untuk segera menikah. Berikut sejumlah alasan yang biasanya melatarbelakangi harapan seseorang ketika menikah:

  • Agar memiliki teman hingga masa tua
  • Menjalankan ibadah
  • Sangat mencintai pasangan
  • Ingin memiliki keturunan dan mengasuh anak bersama pasangan
  • Memiliki status dan pengakuan dari masyarakat
  • Bisa melakukan hubungan seks yang menyenangkan dan resmi/halal
  • Membentuk keluarga bahagia

Itulah asalan-alasan dasar seseorang mengapa harus menikah. Namun pada kenyataannya, banyak orang yang ingin menikah karena alasan yang kurang tepat. Yaitu,

  1. Memiliki tempat pelarian. Misalnya agar terhindar dari keluarga yang bermasalah, ingin segera menikah dengan orang lain karena ditinggal mantan menikah.
  2. Bertanggung jawab atas kesalahan besar. Misalnya harus menikah karena sudah hamil terlebih dahulu, atau terlanjur telah berhubungan seksual.
  3. “Dia” pasti berubah, karena saya akan merawatnya
  4. Demi Menyenangkan orang tua
  5. Bisa balas dendam

Alasan pernikahan yang tidak tepat menjadikan tujuan pernikahan juga bermasalah. Sehingga, menjadikan pernikahan tidak bahagia. Bangunan akan rapuh jika pondasi diciptakan dengan cara yang salah, jika pondasi juga tidak kuat. Begitu juga, perjalanan pernikahan seseorang rentan dengan konflik dan rawan perceraian jika dibangun dari tujuan dan alasan pernikahan yang salah.

 

Baca artikel lainnya, Konseling Keluarga

dan Pengertian terapi  Keluarga

Mitos-mitos pernikahan

Mitos pernikahan bisa berisi keyakinan yang diturunkan dari orangtua, pergaulan, informasi media sosial, atau pengaruh dari tradisi masyarakat, namun belum teruji kebenarannya secara ilmiah. Beberapa mitos yang berhubungan dengan pernikahan diantaranya seperti,

  • Pernikahan membunuh rasa sepi
  • Pernikahan membuat bahagia
  • Kalau dia cinta pasti tahu, apa yang ku mau
  • Cuek banget, dia pasti sudah tidak cinta
  • Komunikasi baik, adalah terbuka 100%
  • Kalau tidak lagi cocok, ya cerai saja
  • Kami saling mencintai, tak perlu restu orang tua
  • Setelah menikah, dia pasti berubah
  • Orang yang selingkuh, pasti tidak puas dengan seks dalam perkawinan
  • Setelah saling memiliki kejutan istimewa tidak perlu lagi

Mitos-mitos pernikahan ini banyak disumbangkan dari tontonan sinetron, novel, dan imajinasi anak-anak muda. Yang pada dasarnya berisi pernyataan ‘Semua masalah pernikahan pasti bisa di hadapi asalkan ada cinta’. Apakah penyataan-pernyataan di atas itu benar? perlu kita kaji lebih dalam.

Dan dalam pernyataan tersebut harus kita ajukan pertanyaan,

Apakah Cinta Modal Utama Pernikahan?

Cinta dalam Pernikahan

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu tahu apa itu cinta. Menurut Sternberg, di dalam cinta ada tiga Komponen. Yaitu, kedekatan, hasrat dan komitmen. Kedekatan/ Intimacy berkaitan dengan adanya komunikasi intim yang intens, rasa ingin membahagiakan pasangan, dan perasaan senang saat bersama pasangan. Hasrat (Passion) berkaitan dengan ketertarikan fisik dan Kebutuhan seksual, keinginan dan kebutuhan untuk bertemu dengan pasangan, dan saling ingin diasuh dan mendominasi satu sama lain. Sedangkan Komitmen merupakan keputusan untuk bersama pasangan yang dipilih dan keinginan untuk mempertahankan hubungan.

Cinta yang sehat harus memiliki tiga komponen tersebut. Kedekatan dan hasrat tanpa komitmen sering terjadi pada anak muda, dimana disebut sebagai cinta persahabatan, dan cinta romantis. Intimacy (perasaan menyukai) yang mendominasi tanpa hasrat dan komitmen bisa kita sebut dengan menyukai atau liking. Seperti dalam hubungan pertemanan lawan jenis. Cinta Bodoh/ Fatuous Love merupakan hubungan cinta yang ironis, dimana ada komitmen dan hasrat namun tanpa adanya kedekatan. Jenis cinta seperti ini akan menimbulkan konflik karena rawan mis komunikasi.

Realita dalam pernikahan

Untuk mempertahankan pernikahan, tidak cukup hanya cinta yang dibutuhkan. Setidaknya, ada empat pilar penyangga utama sebuah pernikahan agar pernikahan tersebut bisa bertahan dari konflik dan permasalahan keluarga. Keempat pilar tersebut adalah :

  1. Cinta kasih yang tulus dan rasa hormat antar pasangan. Adanya perasaan rindu dan kepercayaan. Dengan kedekatan yang memunculkan aktivitas berbagi cerita dan mendengarkan sehingga meminimalkan adanya misskomunikasi.
  2. Terbuka tentang kondisi dir  i berdasarkan kesepakatan bersama pasangan, termasuk dalam hal pengelolaan penghasilan keluarga.
  3. Penyesuaian Kehidupan Seksual. Kegiatan seksual dengan upaya memperoleh kondisi “wellbeing” atau kenyamanan psikoseksual antar pasangan. Antara suami dan istri harus terpenuhi kebutuhan seksual satu sama lainnya. Adanya keterbukaan dalam komunikasi terkait kebutuhan seksual.
  4. Kebersamaan. Bersama-sama dalam berbagai akifitas termasuk spiritual.

Landasan lain dalam membangun pernikahan yang kuat adalah komitmen yang terjaga, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan. Rasa tanggung jawab, kesediaan beradaptasi, fleksibilitas dan toleransi. Mempertimbangkan keinginan pasangan. Komunikasi yang terbuka (empati, sense of humor ,dan respect), cinta kasih dan afeksi termasuk sentuhan fisik. Pertemanan yang nyaman antar pasangan
kemampuan mengatasi krisis. Dan menjaga nilai spiritual antar pasangan.

Wajarkah konflik dalam pernikahan?

Konflik dalam pernikahan tidak bisa dihindari. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Dan konflik dalam pernikahan adalah sebuah proses untuk menyelaraskan dua kepentingan yang saling bertemu antara suami istri. Namun apakah konflik dalam pernikahan itu wajar? Ada kejadian yang membuat konflik dalam pernikahan itu wajar, yaitu jika konflik tersebut dapat menjadi pembelajaran dan langkah lebih lanjut dalam interaksi pasangan, kemudian konflik tersebut ada upaya untuk resolusi. Konflik yang tidak wajar jika menyebabkan tidak ada upaya pembelajaran. Sehingga konflik terjadi secara terus menerus di sumber masalah yang sama. Konflik juga dikatakan tidak wajar jika menyebabkan keretakan rumah tangga dan berujung pada perceraian. Konflik dalam pernikahan menjadi tidak wajar juga jika menjadi besar dan melebar sampai mempengaruhi konflik antara dua keluarga besar, baik dari keluarga besar suami maupun pihak istri.

Sumber konflik dalam pernikahan biasanya berkaitan dengan :

  • Perbedaan harapan
  • Tingkat kepekaan yang berbeda
  • Perubahan dalam perkawinan
  • Perbedaan cara pandang
  • Keinginan untuk dilayani dan dipahami

Terdapat tiga penyebab utama konflik dalam pernikahan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan miskomunikasi, permasalahan finansial, dan permasalahan seksual.

Miskomunikasi berkaitan dengan pasangan yang sulit diajak berdiskusi, pertengkaran dan intonasi suara, kesenjangan kecerdasan, instimidasi dan merendahkan, serta melupakan rasa hormat ke pasangan. Permasalahan finansial berkaitan dengan kesulitan perekonomian di awal pernikahan, ketidakterbukaan dalam mengambil keputusan pengeluaran keuangan, dan ketidakjujuran jumlah perolehan penghasilan. Sumber permasalahan utama ketiga yaitu seksualitas berkaitan dengan kurangnya informasi mengenai sexual education, mitos seksualitas, kehadiran anak, stres dan kualitas hubungan seksual.

 

Baca artikel lainnya, Terapi Keluarga

dan Pentingnya konseling Keluarga

Apa upaya dalam mempersiapkan pernikahan?

Berikut adalah tips terkait apa saja yang perlu disiapkan dalam mempersiapkan pernikahan:

  1. Kenali pribadi masing-masing. Cari tahu mengenai sifat, topeng sosial, unfinish bussiness dari masa lalu, cara penyelesaian konflik, harapan yang tersimpan tentang pernikahan, pola asuh yang selama ini didapatkan.
  2. Pahami apa yang bisa diubah dan tidak bisa diubah dalam diri manusia. Saat menikah, kita perlu menurunkan standar dan meminimalkan harapan terhadap pasangan. Ketahuilah, emosi, memori, kecerdasan, masa lalu adalah hal yang tidak bisa diubah, reaksi terhadap hal-hal tersebutlah yang mungkin bisa kita ubah/kelola
  3. Diskusikan dan tetapkan tatanan keluarga dan peran masing-masing. Pahami tentang konsep: berburu & merawat, multitasking pada wanita; keahlian pria adalah menemukan arah; keunikan gaya komunikasi pria dan wanita; penghayatan emosi; peran budaya dan norma sosial
  4. Terbukalah terhadap ide dan bahasan mengenai issue seksualitas
  5. Bersiaplah dengan konflik, terbukalah untuk melakukan resolusi konflik. Mengidentifikasi respons pertengkaran, pola peyelesaian konflik, dan kemampuan meminta maaf dan memaafkan
  6. Keterbukaan mengenai finansial. Kesediaan membagi peran finansial dan bagaimana membagi penghasilan
  7. Kenali respons-respons keluarga besar. Bagaimana biasanya keluarga besar merespons masalah, sejauh mana mereka akan ikut campur, mempersiapkan diri untuk menjadi jembatan bagi pasangan berkomunikasi kepada keluarga besar

 

Demikian adalah artikel terkait Mempersiapkan pernikahan: Memahami Pernikahan dalam Kacamata Psikologi. Semoga dapat memberikan manfaat kepada kita untuk pendidikan dalam mempersiapkan pernikahan.