admin No Comments

Toxic Positivity — Hallo good people, pernah tidak memberikan kalimat-kalimat penyemangat seperti ini ke saudara, teman atau kenalan yang sedang curhat sama kamu ? “Jangan menyerah”, “Masih banyak diluar sana yang masalahnya lebih berat dari kamu loh”, “Ah gitu aja cengeng, semangat dong!”, “Just be positive”, “Jangan galau-galau gitulah, putus satu tumbuh seribu, tenang aja kali”, dan masih banyak lagi. Hati-hati yaa, ada kalanya kalimat penyemangat itu membuat orang yang sedang bermasalah menjadi semakin tidak baik-baik saja loh.

Bagi sebagian orang, kalimat-kalimat diatas memang ampuh untuk mematahkan dan menyingkirkan pikiran dan perasaan buruk. Namun, bagi sebagian orang yang lain, kalimat ini justru membuat pikiran dan perasaannya menjadi semakin tidak baik-baik saja. Membuatnya semakin merasa kecil diri, bahkan bisa menjadi pemicu gangguan psikis.

Toxic Positivity : Ketika Niat Menyemangati Malah Jadi Menyakiti

Mengapa Kata Motivasi Bisa Menjadi Toxic?

Kenapa bisa seperti itu ? Padahal kalimat-kalimat diatas maknanya positif ? Kenapa bisa jadi toxic ?. Toxic positivity sendiri adalah “kalimat positif yang beracun” mengacu pada konsep untuk tetap positif. Tetap positif dianggap menjadi cara yang paling benar untuk menjalani kehidupan serta menolak apapun yang dapat memicu emosi negative.

Kalimat-kalimat tersebut memiliki makna yang positif, tapi hal ini akan menjadi toxic ketika dilakukan secara berlebihan. Maksud berlebihan disini adalah, ketika kamu  secara terus menerus mendorong saudara, teman atau kenalan yang sedang tertimpa kemalangan agar melihat sisi baik dari kehidupan. Tanpa mempertimbangan akan pengalaman yang mereka lalui atau bahkan tanpa memberi mereka kesempatan untuk meluapkan perasaannya.

 

Baca artikel lainnya, Pola asuh orang tua

dan Psikologi Keluarga

Kenapa toxic positivity menjadi tidak baik ?

 

  1. Menekan Emosi

Toxic positivity menghalangi seseorang untuk merasakan berbagai emosi yang dimiliki dan hanya berfokus pada kebaikan. Ketika seseorang menekan emosi yang tidak menyenangkan, mereka menyangkal diri sendiri mengenai realitas emosi yang dimiliki dan kemampuan untuk memproses serta mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat. Beberapa penelitian psikologis telah memperlihatkan bahwa menekan atau menolak perasaan malah menimbulkan stress yang lebih berat.

Memendam emosi tidak hanya akan mengakibatkan stress yang lebih berat, tetapi juga mempengaruhi kesehatan mental karena hakikatnya emosi perlu disalurkan. Jika kita tidak membiarkan mereka keluar dan mengekspresikannya, maka akan ada titik ketika tekanan di dalam terlalu banyak dan ini dapat mengarah pada manifestasi lain seperti ledakan, depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya.

 

Baca artikel lainnya, Konseling Keluarga

dan Pengertian terapi  Keluarga

  1. Membuat Orang yang Terkena Toxic Positivity Merasa Malu

Memaksakan kalimat positif pada seseorang pada dasarnya adalah cara lain untuk mendorong mereka agar mengabaikan perasaannya. Hal ini dapat menciptakan rasa malu mengenai perasaan apa yang sedang dirasakan dan apa yang sedang di alami. Hal ini  membuat mereka lebih sulit untuk berkomunikasi dan mengungkapkan perasaannya. Sewaktu kita memberi tahu orang lain untuk bersikap baik-baik saja dan berbahagia, secara tidak langsung kita sedang menyampaikan pesan bahwa perasaan negative mereka itu tidak baik.

 

  1. Membuat Mereka Merasakan Keterasingan

Ketika seseorang menyangkal kebenaran tentang perasaan dan emosinya, mereka telah memulai hidup secara tidak nyata dengan diri dan dunianya. Mereka kehilangan hubungan dengan diri sendiri, sehingga sulit untuk menghubungkan dan berhubungan dengan orang lain. Ini diperparah oleh fakta bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mereka tidak bisa hidup sendirian dan interaksi sosial amat penting bagi kelangsungan hidupnya.

Jadi, kalimat positif diatas membuat orang yang sedang tidak baik-baik saja kemudian  mengabaikan, meminimalkan atau bahkan merepresi emosi yang sedang rasakan agar tidak timbul ke permukaan. Padahal, perasaan sedih, galau, kecewa, marah, kesal, takut itu wajar karena kita adalah manusia bukan robot yang dirakit tanpa hati.

Saat seseorang sedang tertekan atau berduka lalu memaksakan diri untuk tetap bahagia, bahkan mungkin mencoba pura-pura baik-baik saja, maka yang terjadi adalah mereka akan menyalahkan diri sendiri karena tidak sesuai ekspektasinya – yang bersumber dari ekspektasi masyarakat. Penyalahan diri ini bersisian dengan rasa kecewa akibat harapan tak tercapai yang ujungnya menjadi kontribusi perasaan negatif dalam diri.

Jadi Harusnya Bagaimana menyikapi keluhan?

Alih-alih merespons curhatan dengan nasihat, apalagi dorongan untuk segera berpikir positif. Mendengarkan orang yang mau berkeluh kesah tanpa sikap menghakimi, atau memberinya kesempatan untuk mengekspresikan setiap emosi sampai mereda adalah hal yang lebih penting untuk dilakukan.

Ketika menghadapi orang yang ingin menyerah hidup, daripada langsung mengucapkan “jangan menyerah”, lebih baik kamu menggali hal-hal dibalik keinginan menyerah tersebut. Misalnya dengan menanyakan hal apa yang membuatnya ingin menyerah atau apa yang membuatnya begitu sedih atau tertekan.

Bagi orang yang sedang dirundung kemalangan, hal terbaik yang dapat dilakukan saat merasakan emosi-emosi negatif adalah dengan menerimanya. Mengakui dan membiarkannya ada tanpa buru-buru ditimpa sikap positif semu, seseorang mampu bersikap jujur menghadapi realitas. Tak perlu hidup dalam angan-angan bahwa bersikap positif nonstop adalah suatu kebaikan.

 

Baca artikel lainnya, Terapi Keluarga

dan Pentingnya konseling Keluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *