admin No Comments

Konstruksi Alat Ukur Psikologi; Asesmen, Pengukuran, dan Evaluasi

Konstruksi Alat Ukur Psikologi. Di bidang psikologi, terdapat beberapa metode untuk melakukan asesmen psikologi. Asesmen dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Konstruksi Alat Ukur Psikologi sendiri banyak menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam pengukuran psikologi terdapat istilah yang biasa dipahami sebagai tes psikologi.

Konstruksi Alat Ukur Psikologi; Asesmen, Pengukuran, dan Evaluasi

Konstruksi Alat Ukur Psikologi; Asesmen, Pengukuran, dan Evaluasi

Tes psikologi merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku (Anastasi). Sedangkan menurut Kaplan (2005), menjelaskan bahwa tes merupakan metode, alat, atau teknik pengukuran yang digunakan untuk mengukur perilaku atau membantu memahami dan memprediksi perilaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tes psikologi merupakan  Suatu metode untuk mengetahui kapasitas atau potensi tertentu seseorang. Di dalam pengukuran psikologi, ada beberapa istilah penting yang sering kita temui, yaitu kuisioner, skala, dan tes. Lantas apa perbedaan dari ketiga istilah tersebut? Berikut kami jabarkan gambaran singkatnya:

 

 

Kuesioner, Skala, dan Tes

Kuesioner Skala Tes
Mengungkap data faktual atau yang dianggap  kebenaran dan fakta yang diketahui subjek Data yang diungkap berupa konsep psikologis atau konstruk yang menggambarkan seperti kepribadian individu Mengungkap rangsang stimulus dengan aspek kognitif yang akan diungkap
Merupakan pertanyaan – pertanyaan langsung terarah kepada informasi mengenai data yang hendak diungkap Aitem berupa pernyataan yang tertuju pada indikator untuk memancing jawaban yang merupakan afeksi keadaan subjek yang tidak disadari Pertanyaan terstuktur dan terstandarisasi
Jawaban tidak diberi skor, tetapi berupa koding Respon terhadap skala diberi skor melalui proses penskalaan Respon diberi skor dan bisa melalui penskalaan
Satu angket dapat mengungkap informasi tentang banyak hal Satu skala psikologi hanya dapat digunakan mengungkap suatu atribut tunggal   Mengungkap kapasitas kognitif dan nonkognitif melalui sampel perilaku
Validitas angket terletak pada kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang hendak diungkap Validitas skala terletak pada kejelasan konsep yang diukur Teruji validitasnya
Hasil angket tidak dapat diuji reliabilitasnya secara psikometris  Hasil skala psikologis dapat teruji reliabilitasnya secara psikometris Reliabel untuk digunakan pada semua subjek

 

Klasifikasi Tes

Atribut psikologis Proyektif Non proyektif
Individual Kelompok Individual Kelompok
Kepribadian Roschach, dan The Holtzman Inkblot CAT, TAT, Warteg, DAM, HTP,P-F 16 PF, EPPS, DRAKE P3,
Intelegensi Binet, WAIS, PMT, WISC, K-BIT, KAIT CFIT
Potensi intelektual MAJT CogAT, DAS, TPA, SAT, DAT, GRE, MCT, Orlens –Hanna…,F-JAS,
Hasil belajar K-ABC EBTANAS, TOELF

 

Karakteristik skala psikologi

Skala psikologi sebagai alat ukur memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari berbagai bentuk alat pengumpulan data lain. seperti formulir atau daftar isian, angket, kuiz, inventori, dll. Skala sebagai alat ukur psikologi memiliki karakteristik, yaitu berisi banyak aitem pertanyaan atau pernyataan. Stimulus skala psikologi berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur. Dan respons subyek pada skala psikologi tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar salah.

prosedur pembuatan skala psikologi

prosedur pembuatan skala psikologi

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan skala psikologi

  1. Subyek penelitian atau sampel penelitian yang dikenai alat yang akan dikembangkan
  2. Jenis skala yang dipakai
  3. Tujuan pengukuran harus dinyatakan dengan jelas
  4. Model Skala yang akan dipakai
  5. Kisi-kisi atau Blue-print
  6. Alokasi waktu yang disediakan

 

Skala sikap

Skala Psikologis bisa berupa  skala yang mengukur sikap dan mengukur atribut psikologis. Karena skala psikologis mengukur aspek psikologi seperti sikap, maka penting sekali diperhatikan terkait objektivitasnya. Pada skala sikap, objek yang diukur harus penting untuk diteliti dan berupa hal yang menimbulkan kontroversi. Komponen skala sikap meliputi komponen emosional (afeksi), konatif (komponen perilaku), dan komponen kognitif.

 

Perbedaan kontruksi skala sikap dan skala psikologis. Jika Skala Psikologis; Dimensi, indikator berasal dari konstrak teori yang dipakai dan memakai teori psikologis tentang konstrak yang diukur. Namun Skala sikap memakai teori sikap. Dimensi skala sikap berasal dari dua hal, yaitu teori sikap dan dari fakta. Penggalian fakta didapatkan dengan cara studi literatur, wawancara, dan sebagainya. Indikator skala sikap berasal dari gabungan dua dimensi diatas.

 

Langkah-langkah penyusunan alat ukur psikologi :

 

  1. Identifikasi tujuan ukur
  2. Operasionalisasi konsep atau indikator perilaku
  3. Menentukan teknik Penskalaan
  4. Pembuatan tabel spesifikasi
  5. Penulisan aitem
  6. Parakitan aitem
  7. Uji coba
  8. Analisis aitem
  9. Seleksi aitem
  10. Pengujian Reliabilitas
  11. Validasi, yaitu sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukam fungsi ukurannya
  12. Format Final

 

Konstruk Psikologis

Konstruk psikologis merupakan konsep buatan. Konstrak psikologis dibangun oleh ahli untuk menjelaskan fenomena psikologis. Contohnya, dengan menggunakan konstruk ‘intelegensi’ kita dapat menjelaskan mengapa individu memiliki kemampuan penalaran bervariasi dengan daya tangkap informasi yang berbeda-beda. Kontruk psikologi tidak bisa diamati secara langsung. Karena bersifat abstrak dan hipotetik. Sebelum diturunkan menjadi indikator tampak, konstrak psikologis tidak dapat diamati.

Konstrak psikologi mengalami perkembangan karena bersifat konseptual. Misalnya, locus of Control berubah menjadi Self Control dan Self Efficacy.

Peneliti harus berpedoman pada teori yang menjelaskan aspek yang relevan dengan apa yang diukur dan bagaimana mengukurnya. Definisi konseptual dan definisi operasional. Dengan memakai landasan teori yang kuat, maka peneliti dapat dengan mudah mengembangkan alat ukur.  Apabila tidak ada teori yang secara khusus mengkaji aspek yang hendak diukur, maka peneliti dapat memadukan teori-teori yang mendukung untuk mendefinisikan aspek yang relevan dengan apa yang hendak diukur.  Contoh, Mengukur Tata Krama Jawa. Dari aspek akan diturunkan dalam indikator perilaku dan item pernyataan.

 

Demikian artikel singkat tentang Konstruksi Alat Ukur Psikologi. Semoga bermanfaat.

 

 

 

admin No Comments

Teori Perkembangan Moral: Teori Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg

Teori Perkembangan Moral. Jika kita membahas tentang perkembangan moral, maka tokoh Psikologi yang memberikan sumbangsih paling banyak yaitu Jean Piaget dan Kohlberg. Istilah moral berasal dari kata Latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan dan Adat. Sehingga perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep konsep moral dimana terikat dengan nilai, sistem sosial, dan tradisi masyarakat. Perilaku yang sama bisa dikategorikan tidak bermoral dalam budaya tertentu, namun di daerah lain, perilaku tersebut merupakan hal wajar dan bermoral.

 

Moral Dan Perilaku

Perilaku non moral atau amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan sosial. Seperti pelanggaran secara tidak sengaja terhadap standar kelompok.

Perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Dikatakan tidak bermoral karena perilaku tersebut tidak selaras dengan standar sosial atau kurang memiliki rasa wajib menyesuaikan diri dengan harapan sosial.

 

Konsep-konsep Teori Perkembangan Moral

Peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan anggota kelompok atau anggota suatu budaya. Peraturan perilaku yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.

 

Pola Perkembangan Moral

Bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral, sehingga dianggap Amoral atau Non-Moral. Menurut teori Psikoanalisa dan teori belajar, menyatakan bahwa aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan.

Menurut Teori Psikoanalisa Perkembangan moral adalah proses internalisasi norma-norma masyarakat dan kematangan organik- biologik. Seseorang telah mengembangkan aspek moral bila telah menginternalisasikan aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan di dalam masyarakat. Kemudian orang tersebut dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang terus menerus, atau dengan kata lain telah menetap dalam diri orang tersebut. Menurut teori Psikoanalisa , perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan sebagai kematangan dari sudut organik-biologik.

Menurut teori Psikologi Belajar perkembangan moral dipandang sebagai hasil rangkaian stimulus respons yang dipelajari oleh anak. Proses belajar didapatkan antara lain berupa hukuman (punishment) dan pujian (reward) yang sering dialami oleh anak. Anak akan mendapatkan reward atau reinforcement positif jika dia berperilaku sesuai moral, dan akan mendapatkan punishment jika berperilaku tidak sesuai moral.

 

 

Konsep Teori Psikoanalisa dan Teori Belajar

Konsep teori Psikoanalisa dan psikologi belajar tentang proses perkembangan moral adalah bahwa seseorang telah mengalami perkembangan moral apabila ia memperlihatkan adanya perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang ada di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain perkembangan moral berkorelasi dengan kemampuan penyesuaian diri individu.

 

Teori Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget dan Kohlberg

Menurut Jean Piaget dan Kohlberg perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu. Sehingga seharusnya bila perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan. TEORI JEAN PIAGET tentang PERKEMBANGAN MORAL Perkembangan moral berlangsung dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

Tahap Realisme Moral –> Moralitas oleh pembatasan (pada usia kurang dari 12 tahun):

Usia 0 – 5 tahun:

Pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya. Jika dia melakukan sesuatu dan dihukum, berarti sesuatu tersebut tidak boleh dilakukan atau salah.

 

Usia 7 atau 8 – 12 tahun:

Pada tahap ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan. Konsep tentang benar atau salah mulai dimodifikasi (lebih luwes atau fleksibel). Konsep tentang keadilan mulai berubah.

 

Tahap Operasional Formal –>Moralitas dengan analisis (pada anak dengan usia lebih dari 12 tahun):

Anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan masalah. Anak bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. Dimana pada tahan ini, anak mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang.

 

Sekilas biografi Tentang Lawrence Kohlberg, sebagai tokoh psikologi kognitif.

Beliau lahir tahun 1927, dan dibesarkan di Brouxmille, New York. Kohlberg menamatkan Sekolah Menengah di Andover Academy di Massachusetts tahun 1948. Kemudian Masuk Universitas Chicago, setahun kemudian Bachelor diraih dan ia mengambil bidang Psikologi. Ketika mengambil bidang Psikologi, Kohlberg tertarik dengan Teori Jean Piaget. Pada Tahun 1958,  Kohlberg lulus program doktoral dengan Disertasi yang berjudul The Development of Modes of Thinking and Choice in the year 10 to 16. Pada tahun 1962 – 1968 Kohlberg mengajar di Universitas Chicago kemudian sejak tahun 1968 mengajar di Harvard.

Menurut Kholberg, Ketika anak dilahirkan maka dia belum dan tidak membawa aspek moral. Kohlberg juga berpendapat, bahwa aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan. Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Jean Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik. Pendekatan orgasmik merupakan tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti (tidak melompat-lompat) dan berlaku secara universal. Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).

 

Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg

 

Tahap-tahap perkembangan moral terdiri dari tiga tingkat, yang masing-masing tingkat terdapat dua tahap, yaitu:

  1. Tingkat Pra-Konvensional (Moralitas Pra-Konvensional)

Pada tahap ini, perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Tahap 1: Orientasi pada kepatuhan dan hukuman. Dimana anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak mau melakukan karena takut mendapat hukuman (punishment). Tahap 2: Relativistik Hedonisme. Dimana anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relatif, dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. Menurut Mussen, dkk., Orientasi moral anak masih bersifat individualistik, egosentris dan konkrit.

 

  1. Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional)

Pada tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional) ini fokusnya terletak pada kebutuhan sosial (konformitas).

Tahap 3: Orientasi mengenai anak yang baik, dimana anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.

Tahap 4: Mempertahankan norma2 sosial dan otoritas. Dimana seseorang menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma. Artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.

III. Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional)

Pada tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional) ini, individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren.

Tahap 5: Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan sosialnya. Artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma sosial, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat.

Tahap 6: Prinsip Universal. Pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya, dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan atau perilaku itu baik atau tidak baik; bermoral atau tidak bermoral. Disini dibutuhkan unsur etik atau norma etik yang sifatnya universal sebagai sumber untuk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.

 

Demikian artikel singkat tentang Teori Perkembangan Moral Teori Piaget Dan Kohlberg.

admin No Comments

Contoh Laporan Hasil Periksaan Psikologis kasus Pidana

Berikut kami laporkan hasil pemeriksaan psikologis:

Nama : LST
Usia : 24 tahun
Tanggal Pemeriksaan Psikologis : 2 Februari 20XX
Diperiksa atas permintaan : Institusi XXX
Metode pemeriksaan : Observasi, wawancara, Tes Psikologis (Tes intelegensi, Grafis dan SSCT)
Pemeriksa : XXX, M.Psi., Psikolog

 

  1. Gambaran Umum

Saudara LST berusia 24 tahun dengan postur tubuh tinggi dan berat badan yang berimbang. LST memiliki tampilan fisik yang bersih. Ia bersikap ramah dan dapat  memberikan respons yang baik saat berinteraksi dengan pemeriksa, walaupun seringkali jawaban yang diberikan terkesan pendek dan kurang mendalam. Tidak tampak adanya gejala depresi atau perasaan tertekan berlebihan yang dialami LST. Ia tampak tegar, meskipun sempat menangis ketika proses pemeriksaan psikologis berlangsung dengan alasan teringat ibu kandungnya.

 

  1. Profil Psikologis

Sebagai pribadi, terlihat LST memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Meskipun memiliki tingkat pendidikan yang kurang memadai, tetapi ia cukup mampu menemukan problem solving atas permasalahan sederhana yang harus ia hadapi. Namun, kemampuannya dalam melakukan perencanaan tampak kurang. Ia juga kurang mampu menganalisa secara mendalam sebuah situasi sehingga ketika berhadapan dengan situasi yang rumit, ia akan sulit menemukan alternatif pemecahan masalah yang tepat secara cepat.

Lebih lanjut, LST memiliki kemampuan komunikasi yang cukup baik dengan lingkungan sekitar, terutama pihak yang memiliki otoritas terhadap dirinya. Ia juga dapat menampilkan sikap sopan dan ramah ketika berinteraksi dengan pihak otoritas tersebut. Namun perlu diperhatikan, bahwa LST memiliki potensi agresifitas verbal. Kondisi ini umumnya akan berpengaruh saat LST terlibat dalam kondisi yang menekan bagi dirinya, LST akan memiliki kecenderungan menyerang secara verbal seperti berkata kasar dan berusaha menyakiti lingkungan menggunakan kata-kata kepada orang atau lingkungan yang ia rasa mengganggunya.

Selain itu, LST juga memiliki potensi melakukan agresifitas secara fisik. Hal ini kemungkinan akan juga berpengaruh terhadap cara yang ia gunakan dalam menyalurkan emosi yang muncul dalam dirinya. Ia dapat melakukan upaya menyerang secara fisik terhadap pihak yang ia anggap mengganggunya. Namun, perlu diperhatikan, bahwa seluruh kondisi tersebut hanya akan dilakukan LST terhadap lingkungan yang ia anggap dapat dikuasai atau tidak berkuasa atas dirinya.

Namun demikian, secara keseluruhan, tidak terdapat gejala gangguan kejiwaan (Psychotic Symptom) yang dialami oleh LST. Gejala gangguan jiwa seperti adanya halusinasi dan delusi tidak muncul selama pemeriksaan berlangsung dan tidak pernah pula dialami LST disepanjang masa hidupnya.

Selain itu, fungsi hidup LST sebagai individu juga berjalan cukup baik.  Ia mampu merawat diri sendiri, bekerja, memiliki fungsi kognitif yang cukup baik, dan dapat beraktifitas secara mandiri. Dengan demikian, keseluruhan kondisi tersebut memperlihatkan bahwa LST dapat bertanggung jawab terhadap sikap dan perilaku yang ia munculkan termasuk tindak pidana yang ia lakukan.

 

  • Kesimpulan

  1. LST merupakan individu dengan tingkat kecerdasan rata-rata
  2. Memiliki potensi melakukan agresifitas verbal dan fisik
  3. Tidak memiliki gejala (symptom) gangguan kejiwaan
  4. Dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan
 

 

 

 

 

Karawang, 5 Februari 20XX

Psikolog,

 

 

 

 

XXX, M. Psi., Psikolog

SIPP No. 16xx-xx-2-2

 

Demikian adalah Contoh Laporan Hasil Periksaan Psikologis kasus Pidana. Sangat membantu jika ada tambahan metode untuk menggali tersangka dengan tambahan psikotes intelegensi. Tersangka bisa diberikan tes CFIT atau tes IST. Untuk melihat potensi intelektual berkaitan dengan kemampuan pengambilan keputusan, problem solving, dan pertanggungjawaban kognitif terhadap perilaku. Semoga Contoh Laporan Hasil Periksaan Psikologis kasus Pidana ini bermanfaat.

 

admin No Comments

Kompetensi Berpikir Konseptual untuk Mengidentifikasikan Permasalahan

Kompetensi Berpikir Konseptual atau Conceptual Thinking, (Kode :CT). Merupakan kemampuan memahami situasi atau masalah dengan cara memandangnya sebagai satu kesatuan yang terintegritas. Berpikir Konseptual mencakup kemampuan mengidentifikasi ; dan memahami pola keterkaitan antara masalah yang tidak tampak dengan jelas atau kemampuan mengidentifikasi permasalahan yang utama yang mendasar dalam situasi yang kompleks.

Kompetensi Berpikir Konseptual meliputi :

  1. Melihat perbedaan antara situasi dan hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya
  2. Menggunakan logika dan pengalaman masa lalu dalam mengenali masalah
  3. Mempraktekkan dan memodifikasi konsep atau metoda yang pernah dipelajari
  4. Mengidentifikasi hubungan dalam data

 

Dalam kamus kompetensi Spencer and Spencer, Berpikir Konseptual memiliki dua dimensi, yaitu :

Berdasarkan kompleksitas dan keaslian konsep atau gagasan; dan berdasarkan Ukuran permasalahan yang dihadapi.

 

Kompetensi Berpikir Konseptual Dimensi Kompleksitas dan keaslian konsep atau gagasan

Tidak menggunakan konsep abstrak; mendapatkan point 0. Mampu berpikir secara kongkrit, tetapi tidak nampak berpikir konseptual.

Menggunakan rumusan sederhana; mendapatkan point 1. Menggunakan akal sehat, pengalaman masalah lalu untuk mengidentifikasi situasi atau masalah. Melihat kesamaan antara pemasalahan sekarang dan masalah lalu.

Menggunakan rumusan sederhana; mendapatkan point 2. Menggunakan akal sehat, pengalaman masalah lalu untuk mengidentifikasi situasi atau masalah. Melihat kesamaan antara pemasalahan sekarang dan masalah lalu.

Menerapkan rumusan yang komplek; mendapatkan point 3. Seperti analisis akar masalah. Atau menerapkan pengetahuan masa lalu, kecenderungan dan hubungan antara berbagai situasi yang berbeda. Menerapkan dan memodifikasi konsep belajar secara wajar.

Menyederhanakan hal yang kompleks; mendapatkan point 4. Menyatukan ide, isu-isu, dan observasi menjadi konsep tunggal atau penjelasan yang jelas. Mengidentifikasi isu kunci dalam situasi kompleks.

Membuat konsep-konsep baru; mendapatkan point 5. Mengidentifikasikan masalah dan keadaan yang tidak jelas bagi orang lain dan tidak menggunakan pelajaran dari masa lalu dengan memunculkan cara pandang baru.

Membuat konsep–konsep baru untuk isu – isu kompleks; mendapatkan point 6. Memformulasikan penjelasan yang berguna untuk situasi – situasi, permasalahan – permasalahan, atau kesempatan – kesempatan yang kompleks. Memunculkan dan menguji berbagai konsep dugaan atau penjelasan untuk situasi tertentu, atau mengidentifikasikan penjelasan hubungan- hubungan yang bermanfaat dari berbagai data kompleks yang berasal dari bidang area yang tidak saling berkaitan

Membuat model – model baru; mendapatkan point 7. Menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks dengan menggunakan model atau teori baru yang diciptakan.

 

 

Kompetensi Berpikir Konseptual Dimensi Ukuran permasalahan yang dihadapi

Memikirkan performansi satu atau dua orang; mendapatkan point 1.

Memikirkan unit kerja kecil atau unit penjualan skala sedang, atau salah satu aspek dari unit yang lebih besar; mendapatkan point 2.

Memikirkan masalah yang dihadapi; mendapatkan point 3. Dapat termasuk unit kerja berukuran sedang , beberapa penjualan,dan penjualan yang cukup besar.

Memikirkan performansi keseluruhan organisasi; mendapatkan point 4. Termasuk dari divisi atau organisasi besar dari suatu perusahaan besar, atau keseluruhan perusahaan berukuran kecil.

Memikirkan performansi jangka panjang yang berkelanjutan; mendapatkan point 5. Berhubungan dengan divisi atau organisasi yang besar, atau seluruh perusahaan dalam lingkungan yang kompleks.

 

Demikian artikel tentang Kompetensi Berpikir Konseptual menurut kamus Kompetensi Spencer and Spencer. Dimensi-dimensi dari berpikir konseptual sangat dibutuhkan dalam melakukan asesmen kompetensi terhadap asesi pemegang jabatan.

admin No Comments

Asesmen Kepercayaan Diri untuk Menyelesaikan Tugas Kerja

Asesmen Kepercayaan Diri atau dalam bahasa tes kompetensi dengan kode SCF – Self Confidence. Kepercayaan diri menjadi salah satu aspek psikologi yang paling sering dilihat kompetensinya dalam bidang industri organisasi. Untuk melihat Asesmen kompetensi Kepercayaan diri bisa dilihat dari dua panduan umum kompetensi, yaitu di Kamus Kompetensi Spencer & Spencer, dan kamus kompetensi general.

 

Asesmen Kepercayaan Diri untuk Menyelesaikan Tugas Kerja

Asesmen Kepercayaan Diri untuk Menyelesaikan Tugas Kerja

Asesmen Kepercayaan Diri: Definisi dan Indikator

Dalam kamus Spencer dan Spencer, Kepercayaan diri dipahami sebagai keyakinan orang pada kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan suatu tugas atau tantangan atau pekerjannya.

Indikator Kepercayaan diri terdiri dari:

  • Tetap melakukan tindakan yang diyakini, meskipun ditentang orang lain
  • Merupakan pribadi yang yakin atau percaya terhadap penilaian atau kemampuan diri sendiri.
  • Menyatakan suatu posisi yang jelas dan percaya diri terhadap orang lain.
  • Bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat
  • Belajar dari kesalahan, menganalisis performansi dan mau memperbaikinya

 

Asesmen Kompetensi Kepercayaan diri menurut Kamus Spencer & Spencer

Dalam kamus Spencer and Spencer, kepercayaan diri ada dua dimensi, yaitu

  1. Keyakinan terhadap diri sendiri dalam menghadap tantangan atau resiko
  2. Tanggung jawab yang diambil dalam menghadapi kegagalan

 

Dimensi Keyakinan terhadap diri sendiri dalam menghadap tantangan atau resiko

 

Tidak berlaku atau menghidari tantangan; mendapatkan point 0. Digambarkan sebagai pribadi yang tidak percaya diri.

Impresif atau memaparkan kekuatan diri; mendapatkan point 1. Membuat keputusan tanpa mengindahkan ketidaksetujuan selain yang berwenang. Namun, bila tindakannya melawan pengawas sampai dengan level 5.

Menyatakan rasa percaya diri atas kemampuannya; mendapatkan point 3. Memandang diri sebagai ahli, orginisator, atau penggerak utama. Membandingkan diri dengan orang lain mengungkapan rasa percaya diri berdasarkan pertimbangan kemampuan sendiri.

Menunjukan ras percaya diri; mendapatkan point 4. Menempatkan posisi secara jelas dalam suatu konflik. Melakukan perbuatan untuk membuktikan apa yang telah diucapkan.

Menerima tantangan dengan suka rela; mendapatkan point 5. Merasa senang dengan tantangan, dan mencari tanggung jawab yang lebih besar tanpa diminta.

Menempatkan diri dalam suatu yang sangat menantang; mendapatkan point 6. Mengambil tugas yang sangat menantang dan menentang atasan atau konsumen.

 

Dimensi Tanggung jawab yang diambil dalam menghadapi kegagalan

Menerima tanggung jawab; mendapatkan point 1. Mengakui kesalahan secara spesifik dan tidak secara umum. Seperti pernyataan “saya salah menilai situasinya saat itu!”.

Belajar dari kesalahan diri sendiri; mendapatkan point 2. Menganalisa perfomansi diri dan mengerti kesalahannya, dan melakukan perbaikan. Seperti pernyataan “karena saya ceroboh!”.

Mengakui kesalahan diri terhadap orang lain dan bertindak untuk memperbaiki masalah; mendapatkan point 3.

 

Asesmen Kompetensi Kepercayaan diri menurut Kamus Kompetensi General

Bertindak percaya diri dalam pekerjaannya; mendapatkan point 1. Perilaku yang muncul melingkupi kriteria : bekerja sendiri tanpa perlu supervisi langsung, Tampil percaya diri dan mampu mempresentasikan dirinya, dan mengambil keputusan sesuai dengan otoritasnya, tanpa perlu persetujuan orang lain bahkan bila orang lain tidak setuju.

Menyatakan keyakinan atas kemampuan sendiri ; mendapatkan point 2. Menggambarkan dirinya sebagai seorang ahli, seseorang yang mampu mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, dan seorang penggerak atau seorang nara sumber. Secara eksplisit menunjukkan kepercayaan akan penilaiannya atau kemampuannya sendiri. Melihat dirinya lebih baik dari orang lain.

Menyukai tugas yang menantang; mendapatkan point 3. Menyukai tugas-tugas yang menantang dan mencari tanggung jawab baru. Bicara terus terang jika tidak sependapat dengan manajemen, pelanggan atau orang-orang lain yang lebih kuat, tetapi tetap mengutarakan pendapatnya dengan sopan. Menyampaikan pendapat dengan jelas dan percaya diri walaupunpun dalam situasi konflik.

Memilih situasi yang sangat menantang; mendapatkan point 4. Secara sukarela mau melakukan tugas yang sangat menantang. Misalnya mengandung resiko tinggi bagi pribadinya. Melakukan konfrontasi secara terbuka dengan pelanggan atau manajemen dalam menghadapi suatu isu.

 

Demikian artikel tentang Asesmen Kepercayaan Diri menurut kamus kompetensi Spencer and Spencer dan kamus kompetensi General.

admin No Comments

Kompetensi Berprestasi untuk Mencapai Target Kerja Meliputi Merencanakan dan Mengimplementasikan

Kompetensi berprestasi. Dalam bidang asesmen psikologi, perlu diukur banyak aspek kompetensi berikut dengan dimensi dan perilaku yang muncul. Salah satu komponen yang diukur dalam tes uji kompetensi psikologi yaitu kompetensi berprestasi. Dalam kamus spencer, termasuk dalam ACH, yaitu Achievement And Action. Yaitu kemampuan dalam merencanakan dan mengimplementasikan.

Kompetensi Berprestasi untuk Mencapai Target Kerja

Kompetensi Berprestasi untuk Mencapai Target Kerja

Kompetensi Berprestasi menurut Spencer and Spencer

Semangat berprestasi untuk mencapai target kerja (Achievement Orientation, Ach) yaitu derajat kepedulian seseorang terhadap pekerjaannya, sehingga orang tersebut terdorong berusaha untuk bekerja dengan lebih baik atau diatas standar.

Achievement Orientation mencakup dalam bekerja untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh manajemen, menetapkan dan bertindak dalam meraih sasaran diri sendiri dan orang lain, pengoptimalan dalam penggunaan sumber daya, dan fokus pada perbaikan, serta melakukan perhitungan terhadap resiko enterpreneurial.

 

Terdapat tiga dimensi berkaitan dengan Kompetensi berprestasi untuk Mencapai Target Kerja, Yaitu :

  1. Intensitas dan Kelengkapa
  2. Dampak prestasi atauusaha yang dilakukan, besarnya
  3. Derajat inovasi, usaha membuat sesuatu yang baru, berbeda baik tindakan ide, dalam konteks pekerjaan organisas

 

Kompetensi berprestasi Dimensi A: Intensitas dan Kelengkapan

Melingkupi :

 

Berfokus pada tugas yang diberikan mendapatkan Point 0 (nol). Memberikan usahanya dengan fokus pada tugas yang dengan prestasi rata-rata. Tidak diperlukan suatu inisiatif untuk memulai suatu tugas atau cara kerja yang baru.

 

Bermotivasi untuk mengerjakan pekerjaan dengan cara yang lebih baik;

mendapatkan point 1. Memiliki inisiatif dan menunjukan keinginan untuk mencapai standar kerja yang telah ditetapkan (minimum sama dengan prestasi rata-rata). Senangnya mencoba untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik atau benar, misalnya ingin menemukan cara kerja yang lebih cepat, lebih efisien, lebih murah, dan sebagainya.

 

Selalu berusaha untuk menyamai standar orang lain atau prestasi rata-rata;

mendapatkan point 2. Harus mampu untuk bekerja untuk mencapai suatu standar kinerja yang ditetapkan oleh pihak manajemen (misalnya, menyesuaikan dengan anggaran, mencapai kuota atau target penjualan, dan persyaratan kualitas, dan sebagainya).

 

Mampu menetapkan ukuran kepuasan kerja atau prestasi kerja sendiri, tidak perlu ada pedoman perfomasi dari manajemen;

mendapatkan point 3. Berfikir mandiri dalam menetapkan ukuran keberhasilan kerjanya. Misalnya, tingkatan penjualan yang ingin dicapai, jumlah uang yang dikeluarkan, menilai perfoma orang lain, penggunaan waktu, memenangkan persaingan, dan sebagainya. Level ini juga dapat untuk jabatan yang memegang jabatannya perlu menetapkan target kerjanya secara mandiri, tetapi belum benar-benar menantang dan selalu menetapkan target baru yang sedikit lebih baik. Catatan: untuk target kerja yang benar-benar menantang dapat diberi nilai untuk level 5, jika tidak benar-benar menantang atau agak ragu diberi skor 3.

 

Terus berusaha untuk memperbaiki kinerja;

mendapatkan point 4. Mempunyai kebijakan dalam sistem kerja, atau dalam kebiasaan kerjanya sendiri untuk memperbaiki kinerja.  Memperbaiki kinerja dengan menetapkan target kerja selalu meningkat dari waktu ke waktu. Misalnya mengerjakan sesuatu dengan lebih baik, cepat, dengan biaya yang lebih efisien, lebih murah, meningkatkan kualitas, meningkatkan kepuasan konsumen, serta meningkatkan pendapatan.

 

Menetapkan tujuan yang menantang;

mendapatkan point 5. Menetapkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang menantang baik menurut standar diri sendiri maupun standar dari orang lain. Misalnya, meningkatkan penjualan atau kualitas atau produktivitas sebanyak 15 persen dalam waktu 6 bulan.

Arti ‘menantang’ disini maksudnya ada kemungkinan 50-50 untuk mencapai tujuan tersebut. Peluang 50 persen merupakan suatu tujuan yang ketat, namun realistis, atau mungkin berhasil jika dilaksanakan. Individu yang biasa melaksanakan dan merencanakan suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan yang menantang tetap diberi skor 5. Bahkan jika tujuan itu tidak dapat dicapai. Sebaliknya untuk individu yang dalam keseharianya membuat target yang “aman” tidak diberi skor 5, tetapi 3. Skor 5 diberikan juga kepada individu yang tidak mencapai target kerjanya di awal, tetapi terbukti performansinya meningkat tajam.

 

Menganalisa segala tindakan dan keputusan berdasarkan pertimbangan Biaya-Manfaat;

mendapatkan point 6. Menentukan keputusan-keputusan, menetapkan prioritas, atau memilih tujuan–tujuan dalam basis input dan output. Yaitu membuat pertimbangan secara eksplisit dan ilmiah.

 

Mengambil resiko enterprenerial dengan pertimbangan yang masak;

mendapatkan point 7. Dimana jika individu tersebut dapat memanfaatkan sumber daya dan atau waktu yang signifikan (dalam ketidakpastian) untuk meningkatkan peformansi. Individu juga dapat mencoba suatu yang baru, mencoba suatu tujuan yang menantang. Misalnya mengeluarkan produk atau jasa baru, memilih operasi ‘turn around’. Disamping itu juga, individu melaksanakan tugas untuk meminimasi resiko yang akan terjadi. Misalnya melakukan riset pemasaran, melakukan pendekatan pada konsumen, dan sebagainya. Atau dalam Achievement for orther entrepreneurial, memberikan semangat dan mendukung bawahan dalam menanggung resiko entrepreneurial. Mengambil kesempatan baru dengan penuh pertimbangan. Serta meninggalkan apa yang telah dicapai atau dimiliki dengan resiko terbesar akan kehilangan yang telah dimiliki jika ternyata kesempatan baru yang diambil tersebut gagal.

 

Konsisten dalam usaha-usaha entrepreneurial;

mendapatkan point 8. Melaksanakan tindakan yang dilakukan diluar waktu kerja dalam ketidakpastian untuk meraih tujuan entrepreneurial. Atau dengan sukses melakukan usaha-usaha entrepreneurial.

 

 

Dimensi B: Dampak prestasi atau usaha yang dilakukan, besarnya pengaruh

Dimensi Dampak prestasi atau usaha yang dilakukan, besarnya pengaruh berlaku jika level kompetensi ACH A 3 atau lebih. Melingkupi:

 

Fokus pada kinerja atau performansi pribadi;

mendapatkan point 1. Bekerja untuk meningkatkan efisiensinya melalui teknik time management, metode kerja personal yang baik, dan sebagainya.Termasuk di dalamnya usaha-usaha untuk untuk meningkatkan efisiensi kerja diri sendiri dan bisa juga termasuk satu orang lainya (salah satu bawahan, sekretaris, dan sebagainya).

 

Mempengaruhi satu atau dua orang lain;

mendapatkan point 2. Mampu menumbuhkan komitmen finansial (pendapatan atau penghematan) yang kecil saja bagi perusahaan.

Mempengaruhi satu kelompok kerja (4-15 orang);

mendapatkan point 3. Mampu memberikan dampak komitmen finansial atau penjualan dengan ukuran moderat. Bekerja untuk membuat sistem yang menjadi lebih efisien, mempengaruhi orang lain untuk bekerja dengan lebih baik atau efisien (ACH Others). Meningkatkan performensi kelompok (ACH Team).

Mempengaruhi satu departemen lebih dari (15 orang);

mendapatkan point 4.Mampu meningkatkan penjualan dalam jumlah yang cukup besar atau komitmen yang cukup besar bagi perusahaan.

Mempengaruhi perusahaan yang cukup besar dalam skala menengah;

mendapatkan point 5. (atau suatu divisi dalam perusahaan besar).

Mempengaruhi perusahaan dalam skala besar; mendapatkan point 6

Mempengaruhi keseluruan industri; mendapatkan point 7

 

Dimensi C. Derajat inovasi, usaha membuat sesuatu yang baru,

 

Pada dimensi ini, usaha membuat sesuatu yang baru, berbeda baik tindakan ide, dalam konteks pekerjaan organisasi. Dimensi Derajat inovasi, berlaku untuk level kompetensi ACH A 3 atau lebih. Melingkupi:

 

Hal baru untuk pekerjaan atau unit kerja;

mendapatkan point 1. Mampu melakukan hal-hal tertentu untuk meningkatkan performansi yang belum pernah dilakukan untuk pekerjaan tertentu. Namun mungkin sudah dilakukan di bagian lain perusahaan.

 

Hal baru untuk organisasi;

mendapatkan point 2. Mampu melaksanakan performansi dengan hal-hal baru dan berbeda yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh perusahaan tersebut. Namun bukan hal yang baru di dalam industri yang bersangkutan.

Hal baru untuk industri;

mendapatkan point 3. Mampu meningkatkan performansi dengan melakukan hal yang unik, melawan arus, dan merupakan hal baru bagi industri yang bersangkutan.

Transformasi;

mendapatkan point 4. Mampu melakukan hal-hal yang benar-benar baru dan efektif yang merubah industri. Misalnya transformasi yang dimulai Apple, terhadap industri komputer personal, dan pengembangan transistor oleh Schockley. Dimana hal-hal baru tersebut yang mengawali langkah industri elektronik, transformasi yang dilakukan Henry Ford terhadap industri manufaktur mobil. Level ini jarang sekali terlihat.

 

Kompetensi Berprestasi menurut Kamus Generik

Dalam melakukan kompetensi psikologi. Para psikolog dan asesor biasa menggunakan dua panduan utama untuk melihat aspek kompetensi. Yaitu kamus Spencer and Spencer, dan kamus Generik. Berdasarkan kamus Generik, kompetensi berprestasi (ACH) dapat dilihat tingkat kedalaman perilaku melingkupi:

Berusaha untuk bekerja dengan sebaik-baiknya; mendapatkan point 1. Ingin melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Merasa tidak puas bila melihat ketidakefisienan. Misalnya mengeluh karena waktu yang terbuang.

Menetapkan standar prestasi yang ingin dicapai; mendapatkan point 2. Mengukur hasil kerja berdasarkan standar prestasi yang tidak ditentukan orang lain. Menekankan pada cara yang baru untuk mencapai target yang telah ditetapkan manajemen.

Meningkatkan kinerja; mendapatkan point 3. Membuat perubahan spesifik dalam sistem atau metode kerjanya untuk meningkatkan kinerja. Melakukan sesuatu dengan lebih baik, lebih cepat, dengan biaya lebih rendah. Meningkatkan kualitas, kepuasan pelanggan, moral atau pendapatan.

Menetapkan dan mencapai sasaran yang menantang; mendapatkan point 4. Menetapkan sasaran yang menantang dalam arti sesuatu dengan probabilitas keberhasilan/sukses 50% – sulit tapi bukannya tidak mungkin. Membandingkan secara spesifik adanya peningkatan kinerja yang berarti setelah beberapa lama. Menetapkan untuk mencapai suatu standar yang unik, yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan analisis manfaat-biaya (cost- benefit analysis) ; mendapatkan point 5. Membuat keputusan, menetapkan prioritas atau memilih sasaran berdasarkan perhitungan input dan output. Secara eksplisit menyatakan pertimbangan keuntungan, return-on-investment atau analisis cost-benefit. Menganalisa hasil bisnis dengan menyebut secara spesifik biaya, keuntungan, dan keputusan yang diambil berdasarkan analisa ini (Analisa cost-benefit ini tidak harus berupa angka-angka).

Mengambil resiko wirausaha yang diperhitungkan; mendapatkan point 6. Menginvestasikan sumber daya dan waktu yang signifikan (dalam situasi yang tidak pasti) untuk meningkatkan keuntungan (misalnya mencoba membuat produk baru). Memulai membuat atau memasarkan suatu produk atau mengembangkan suatu bisnis baru

 

_________
Penutup

Demikian adalah bahasan terkait Kompetensi Berprestasi untuk Mencapai Target Kerja Meliputi Merencanakan dan Mengimplementasikan menurut kamus kompetensi Spencer and Spencer dan kampus kompetensi Generik.

 

admin No Comments

Memahami Kesehatan Mental, Self Awareness, Self Love, dan Self Care

Memahami Kesehatan Mental. Belakangan ini, isu kesehatan mental sudah mulai diperhatikan oleh banyak pihak. Diaplikasikan dalam bidang pendidikan, industri di perusahaan, sampai ke permasalahan di rumah tangga. Pada artikel ini akan kami bahas, Seperti apa Self Awareness, Self Love, & Self Care yang tepat? Dan Apa Bedanya dengan Egosentris?

 

Memahami Kesehatan Mental

 

Kesehatan Mental belum menjadi isu yang populer di Masyarakat Indonesia.

Masalah kesehatan yang menjadi fokus kerja kementrian kesehatan RI hingga 2019 adalah STUNTING. Dan isu saat ini adalah pencegahan penyebaran COVID-19 jadi belum juga memberikan fokus pada kesehatan mental sebagai dampak dari dua hal tersebut.

 

 

Berikut adalah beberapa konsep salah tentang kesehatan mental:

  • Tidak pernah berkonflik
  • Selalu bahagia
  • Selalu memiliki kehidupan yang aman dan tentram
  • Gangguan jiwa adalah aib yang harus disembunyikan
  • Gangguan mental merupakan peristiwa tunggal
  • Datang ke psikolog/psikiater berarti sudah gila

 

Orang yang sehat mental bukan berarti dia tidak pernah sedih, atau berkonflik, dan mengalami stres. Orang dengan kesehatan mental yang bagus bisa mengalami banyak tekanan dari luar, tetapi dirinya mampu bersikap dan berpikir dengan baik dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

 

Menurut WHO (2001), Kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.

 

Individu yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menghormati perasaan orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia.

 

Berkenalan dengan Kepribadian Sehat

 

Karakteristik Kepribadian Sehat secara umum

  • Dapat terbebas dari gangguan psikologis dan gangguan mental berat.
  • Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa kehilangan identitas
  • Mampu mengembangkan potensi dan bakat
  • Memiliki keimanan pada Tuhan dan berupaya untuk hidup sesuai ajaran-ajaran agama yang dianutnya.
  • Memiliki nilai kebajikan dan berkehidupan sesuai dengan nilai-nilai tersebut

 

 

Konsep Kepribadian Sehat Menurut Teori Psikodinamika

  • Mampu untuk mencintai & bekerja
  • Memiliki ego strength
  • Mampu melakukan kompensasi bagi perasaan inferiornya
  • Memiliki hasil yang positif dalam setiap tahap interaksinya dengan lingkungan sosial

 

 

Tanda saat kita sedang Tidak sehat mental

 

5 tanda sedang tidak sehat mental

 

  1. Perubahan pola tidur dan makan
  2. Menarik diri dari teman, keluarga dan kegiatan
  3. Kehilangan energi
  4. Mudah terganggu dan perubahan suasana hati
  5. Kehilangan kinerja di sekolah atau di tempat kerja

 

Catatan penting: penyakit mental berdampak pada kesehatan fisik secara langsung dan tidak langsung. Penyakit mental sendiri berhubungan erat dengan kelelahan, dan kelelahan yang terus menerus dapat dengan mudah menyebabkan penurunan kesehatan fisik.

 

5 hal yang bisa di cek untuk tahu apakah kita sedang sehat secara mental

  1. Pola Makan
  2. Pola Tidur
  3. Keinginan untuk bersih diri dan olah raga
  4. Kebutuhan untuk berinteraksi secara sosial
  5. Mampu untuk Produktif (Sekolah, kuliah, kerja, keluarga, dan di masyarakat)

 

 

3 gangguan mental/psikologis yang sering muncul dan tidak disadari

  1. Stres yang tidak terselesaikan, berdampak pada munculnya Fase Depresi
  2. Gangguan Emosi. Kesulitan untuk mengelola emosi seperti kemarahan dan kebencian
  3. Gangguan Kecemasan. Merupakan Perasaan takut, prasangka, overthinking

 

Apa dampak dari tidak sehat mental?

  • Perasaan tidak bahagia dalam hidup.
  • Konflik dengan anggota keluarga.
  • Kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain.
  • Terasing dari kehidupan sosial.
  • Kecanduan rokok, alkohol, atau NAPZA.
  • Keinginan untuk bunuh diri dan mencelakai orang lain.
  • Terjerat masalah hukum dan keuangan.
  • Rentan sakit akibat sistem kekebalan tubuh menurun.

 

 

Apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga Kesehatan Mental? Yaitu penting bagi kita untuk mencintai diri sendiri, perhatian terhadap diri, dan memiliki self awareness.

Mari memahami kesehatan mental dengan cara berkenalan dengan konsep Self Awareness, Self Love, dan Self Care

 

 

Self Awareness

Kesadaran diri merupakan sikap yang berupaya memerhatikan pikiran, perilaku, perasaan yang kita miliki dan memahami dampaknya terhadap orang lain/lingkungan sekitar kita. Kesiapan pada setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar dan peristiwa internal dalam diri termasuk koginitif yang meliputi pikiran dan perasaan serta sensasi pada fisik, dan memori yang muncul.

Self  awareness  ini  membantu  kita  untuk  memahami  diri  kita seutuhnya  termasuk  membantu  kita  terampil  dalam memunculkan  reaksi  terhadap  peristiwa  internal  yang  kita alami  dan  melakukan  self  love  terhadap  diri  sendiri

 

Self Love

Berarti kita mau dan mampu menghargai, menghormati, dan memahami diri sendiri. Kita mencoba bersikap realistis dan jujur pada diri sendiri tentang kekurangan dan kekuatan kita, dan menjadi diri sendiri dengan nyaman.

Kita  memahami  apa  yang  sebetulnya  kita  butuhkan  sebagai individu,  bertindak  berdasarkan  kebutuhan  kita,  bukan  berdasar pada  keinginan  yang  mungkin  sumbernya  dari  tuntutan lingkungan

 

 

Self Care

Self care adalah peduli dan melakukan perawatan dengan cara melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita sendiri, baik untuk fisik maupun psikis agar tetap bisa menjadi pribadi yang produktif dan positif.

Menyisihkan waktu untuk melakukan self care bisa membantu kita mengatasi stres, kekhawatiran, dan untuk sebagian orang, membantu mengontrol amarah.

Pilihan Cara yang bisa digunakan seperti, berjalan-jalan dan menghirup udara pagi, olahraga ringan, menulis, bermeditasi  atau  merasakan  nafas. Hal-hal lain seperti  tidur  berkualitas, menemukan  hobi,  atau  melakukan  body care juga penting kita punyai. Kita perlu memiliki kesadaran untuk terus mengembangkan diri.

 

Setiap individu selalu memiliki kesempatan untuk berfungsi dalam meningkatkan level kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Sadari, kehidupan kita tidak mungkin selalu mulus dan tanpa masalah.

 

 

Resiliensi

Sangat  penting  untuk  mengajarkannya  bagaimana memikul penderitaan yang tidak dapat dihindarkan

Resiliensi  berarti  kemampuan  individu  untuk  beradaptasi  dan tetap teguh saat berhadapan dengan situasi/pengalaman tidak menyenangkan

 

Kita perlu belajar untuk memiliki resiliensi dan berupaya mengembangkan diri untuk bisa mencapai kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental.

Bagaimana Caranya? Diantaranya yaitu dengan mengasah keterampilan Komunikasi, Keterampilan mendengar aktif, berempati, komunikasi non-verbal, dan mampu bersikap asertif.

Menggunakan Humor sebagai resiliensi konflik. Humor mampu meredakan ketegangan dan membuat rileks tubuh. Reaksi humor yang tepat dapat membuat individu melupakan pengalaman yang tidak

menyenangkan, dan berdampak pada reaksi emosi yang lebih positif. Kemampuan menangkap humor terutama tentang dirinya sendiri dapat menurunkan tingkat stres dan berdampak pada meminimalisasi munculnya gejala depresi

 

 

Membangun keterampilan mengelola konflik

Konflik tidak selalu menghadirkan perpecahan atau kerusakan hubungan interpersonal. Kemampuan melakukan resolusi konflik akan membantu individu untuk tetap mengelola dan mempertahankan hubungan interpersonal dan mungkin saja menjadi semakin memahami orang lain yang berada disekitarnya.

Kemampuan mengelola konflik perlu ditingkatkan dengan memiliki fleksibilitas dan kesadaran untuk terbuka terhadap pengalaman dan kebiasaan baru. Semakin fleksibel dalam berpikir dan punya banyak pengalaman, maka orang tersebut memiliki beberapa alternatif dalam menyelesaikan masalah yang muncul.

 

Terapkan Self Awareness, Self Love, dan Self Care

  • Didorong oleh rasa cinta.
  • Selalu mempertimbangkan diri sendiri dan orang lain sebelum mengambil keputusan.
  • Tidak semata-mata memikirkan keuntungan atau kesenangan pribadi.

Demikian artikel singkat tentang, Memahami Kesehatan Mental. Artikel ini ditutup dengan statement dari sphancer, “kesehatan mental bukanlah tujuan, tetapi proses. Kesehatan mental tentang bagaimana anda mengendalikan diri.” Semoga artikel ini bermanfaat.

admin No Comments

Apa itu FGD – Focused Group Discussion – Teori Psikologi wawancara

Apa itu FGD. FGD yang merupakan singkatan dari Focuses Group Dscussion merupakan bentuk kegiatan pengumpulan data melalui wawancara kelompok. Focuses Group Dscussion menjadi metode dan teknik dalam mengumpulkan data kualitatif di mana sekelompok orang berdiskusi tentang suatu fokus masalah atau topik tertentu dipandu oleh fasilitator atau moderator.

Jadi Apa itu FGD ?

FGD merupakan diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Selama diskusi berlangsung, moderator harus fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan selalu berusaha mengembalikan diskusi ke “jalan yang benar”.

 

Karakteristik FGD

Peserta FGD terdiri dari 1 kelompok berisi peserta yang idealnya terdiri dari 7-11 orang. Namun begitu, FGD bisa diselenggarakan dengan peserta dengan jumlah minimal 3 peserta. Hal ini karena dibutuhkan peserta dengan jumlah lebih baik ganjil sehingga bisa didapatkan suara terbanyak jika dibutuhkan untuk voting atau mencari pendapat dengan pernyataan terkuat. Namun harus dipahami, soal jumlah ini bukanlah pembatasan yang mengikat dan tidak mutlak sifatnya.

Kelompok pada sesi FGD harus cukup kecil agar memungkinkan setiap individu mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya. Sekaligus agar individu tersebut cukup memperoleh pandangan dari anggota kelompok yang bervariasi dan penggalian masalah melalui diskusi atau pembahasan kelompok dapat dilakukan secara relatif lebih memadai.

Peserta FGD terdiri dari orang-orang dengan ciri-ciri yang sama atau relatif homogen yang ditentukan berdasarkan tujuan dan kebutuhan studi atau proyek. Atau bisa kelompok orang dalam divisi yang berbeda tetapi satu tujuan untuk memajukan perusahaan atau menyelesaikan permasalahan perusahaan yang sama. Kesamaan ciri-ciri pada peserta FGD ini seperti: persamaan gender, tingkat pendidikan, pekerjaan atau persamaan status lainnya.

FGD memerlukan pedoman seperti halnya wawancara umum. Pedoman tersebut berisi pertanyaan mengenai hal-hal yang akan disampaikan selama FGD berlangsung. Pedoman ini di buat berdasarkan tujuan yang ingin di capai melalui FGD. Juga perlu disiapkan sebelum pelaksanaan FGD tentang contoh kasus yang hendak diangkat.

FGD merupakan metode dan teknik pengumpulan data kualitatif. Oleh sebab itu di dalam metode FGD yang digunakan oleh fasilitator adalah pertanyaan terbuka (open question) yang memungkinkan peserta memberi jawaban dengan penjelasan dan eksplorasi ide serta opini mereka.

Berikut adalah dokumentasi materi FGD dalam mata kuliah online psikologi wawancara

Fungsi Fasilitator atau Moderator dalam FGD

Keberhasilan pelaksanaan FGD sangat ditentukan oleh kecakapan moderator dalam menjalin komunikasi dengan para peserta. Moderator yaitu fasilitator diskusi yang terlatih dan memahami masalah yang dibahas serta tujuan penelitian yang hendak dicapai (ketrampilan substantif), serta terampil mengelola diskusi (ketrampilan proses). Fasilitator berfungsi selaku moderator yang bertugas sebagai pemandu, pengamat, pendengar, dan menganalisa data secara induktif.

Meskipun dengan peserta yang relatif homogen, FGD yang bertujuan untuk menggali dan memperoleh beragam informasi tentang masalah atau topik tertentu yang sangat mungkin dipandang secara berbeda-beda dengan penjelasan yang berbeda pula. Sehingga fasilitator harus cerdas dalam memahami sudut pandang tiap peserta FGD.

Seperti wawancara umum, fasilitator memiliki tugas seperti interviewer yang mengarahkan diskusi dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disiapkan. Hal ini penting agar FGD berjalan sesuai tujuan awal.

 

 

Waktu dan Tempat yang Tepat untuk Melakukan FGD

FGD umumnya dilakukan dalam 60 sampai dengan 90 menit. Jika waktu FGD terlalu pendek dikhawatirkan diskusi dan pembahasan masih terlalu dangkal sehingga data yang diperoleh sangat terbatas. Sedangkan jika waktu terlalu lama, dikhawatirkan peserta lelah, bosan atau

sangat menyita waktu sehingga berpengaruh terhadap konsentrasi dan perhatian peserta. Namun terkait waktu sangat fleksibel. Hal ini tergantung dengan kualitas peserta FGD dan kemampuan dari fasilitator untuk membuat pelaksanaan FGD lebih efisien. Pada dasarnya, FGD bisa disudahi jika tujuan dari FGD sudah tercapai. Jika data yang hendak digali sudah didapatkan semua.

Pelaksanaan FGD dilakukan dalam ruangan yang nyaman dan netral dengan pertimbangan utama bahwa peserta dapat secara bebas dan tidak merasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Penting untuk menghindari gangguan dari luar ruangan. Seperti suara bising, orang dan kendaraan lalu lalang yang terlihat di jendela ruangan FGD.

 

Teknis Pelaksanaan FGD Bagi Fasilitator

Ada beberapa teknis dalam pelaksanaan FGD yang perlu disampaikan fasilitator yaitu Menjelaskan maksud dan tujuan FGD, Menjelaskan topik/isu pokok diskusi, dan Menjelaskan tata cara pelaksanaan dalam FGD.

Fasilitator perlu menciptakan suasana kondusif dan mampu mengelola dinamika kelompok. Diantara tugas lain fasilitator terhadap peserta yaitu:

  1. Memperhatikan keterlibatan peserta,
  2. Tidak boleh berpihak atau membiarkan beberapa orang tertentu memonopoli diskusi
  3. Memastikan bahwa setiap orang mendapat kesempatan yang cukup untuk berbicara.
  4. Peserta merasa nyaman untuk berbagi dan menyampaikan pendapat/pemikirannya.
  5. Mengamati peserta dan tanggap terhadap reaksi mereka
  6. Memperhatikan bahasa non verbal peserta seperti nada suara, ekspresi, dan gerak tubuh.
  7. Menghindari pemberian pendapat pribadi dan komentar setuju/tidak setuju
  8. Mampu mengendalikan waktu yang telah ditentukan

 

Pertimbangan Dalam Menggunakan FGD

Pentingnya Sinergisme. Dimana peserta dalam berpendapat apakah saling menguatkan pendapat atau saling mematahkan dan menyalahkan pendapat peserta yang lainnya. Perlu juga diperhatikan ketika suatu kelompok mampu menghasilkan informasi, ide dan pandangan yang lebih luas. Fasilitator perlu melemparkan umpan ke peserta dan kemudian melihat apakah ada efek bola salju dalam sesi diskusi. Efek bola salju yaitu komentar yang didapat secara acak dari peserta atau fasilitator dapat memacu reaksi berantai respons yang beragam dan sangat mungkin menghasilkan ide-ide baru.

Fasilitator perlu menjadi stimulan, serta membiarkan peserta secara alami menjadi stimulan bagi kelompok diskusi. Pengalaman diskusi kelompok sebagai sesuatu yang menyenangkan dan lebih mendorong orang berpartisipasi mengeluarkan pendapat.

Rasa aman perlu diberikan ke peserta. Ketika individu biasanya merasa lebih aman, bebas dan leluasa mengekspresikan perasaan dan pikirannya dibandingkan kalau secara perseorangan yang mungkin ia akan merasa khawatir. Perasaan aman juga membuat peserta mampu bersikap secara spontan. Individu dalam kelompok lebih dapat diharapkan menyampaikan pendapat atau sikap secara spontan dalam merespons pertanyaan, hal yang belum tentu mudah terjadi dalam wawancara perseorangan.

FGD sering digunakan oleh pembuat keputusan untuk mendukung dugaan/pendapat pembuat keputusannya. Hal ini karena FGD dapat dilakukan secara cepat dan murah. Persoalannya adalah, seberapa jauh FGD dilakukan sesuai prinsip dan prosedur yang benar.

FGD terbatas untuk dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam dari seorang individu yang mungkin dibutuhkan. Hal ini disebabkan FGD terbatas waktu dan memberi kesempatan secara adil bagi semua peserta untuk menyampaikan pendapatnya. Untuk ini FGD tidak boleh dipertentangkan dengan metode lainnya, tetapi justru harus dilihat sebagai saling melengkapi.

Teknik FGD mudah dilaksanakan, tetapi sulit melakukan interpretasi datanya. FGD memerlukan fasilitator-moderator (pemandu diskusi) yang memiliki ketrampilan tinggi. Hal ini amat berpengaruh terhadap hasil.

 

Demikian artikel singkat tentang ‘Apa itu FGD’. Semoga bermanfaat.

 

admin No Comments

Teori attending behavior – Pengantar Psikologi Wawancara

Teori attending behavior. Apa yang dimaksud dengan attending behavior ? Atending behavior merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor dalam proses wawancara. Attending adalah cara yang menunjukan bagaimana konselor menyiapkan diri, mendengarkan, bersikap atau berperilaku, memberikan perhatian kepada klien sehingga klien merasa aman, nyaman, diperhatikan oleh konselor (Carkhuff dalam Retno dan Eko, 2007).

 

 

Teori attending behavior – Pengantar Psikologi Wawancara

Teori attending behavior – Pengantar Psikologi Wawancara

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa attending behavior adalah ketrampilan atau teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan merasa dibimbing dengan suasana yang kondusif. Sehingga klien bebas mengekspresikan atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan tingkah lakunya. Perilaku attending dapat juga dikatakan sebagai penampilan konselor yang menampakkan komponen-komponen perilaku nonverbal, kontak mata, dan bahasa lisan. Karena komponen-komponen tersebut tidak mudah perlu dilatih secara bertahap dan terus menerus.

 

Perilaku attending juga berfungsi untuk mengurangi kuantitas bicara konselor dan memberikan klien waktu lebih banyak untuk menceritakan tentang diri mereka.

Konselor mengetahui waktu yang tepat untuk memberi masukan dan waktu yang tepat untuk mendengarkan apa yang klien ucapkan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam attending behavior

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan konselor dalam attending behavior, yaitu:

  1. Visual : Pattern of eye contact

Menatap klien secukupnya, jangan banyak mengalihkan pandangan. Karena konselor juga perlu melakukan observasi terhadap klien

  1. Vocal Qualities : tinggi rendahnya dan kecepatan nada suara

Kecepatan bicara mengindikasikan seberapa besar ketertarikan dan rasa empati terhadap cerita klien. Kecepatan bicara juga memberikan kesan mengenai ketenangan dan profesionalisme konselor saat berhadapan dengan klien. Tone suara yang cukup rendah (dan empuk) juga bisa membantu klien untuk memiliki ketenangan dan memunculkan rasa aman. terutama saat berhadapan dengan klien-klien dengan masalah klinis

 

  1. Verbal Tracking : Following the client or changing the topic?

Jangan mengubah tujuan pembicaraan yang telah ditetapkan sejak awal. Konselor harus peka dalam memilih pernyataan klien yang harus diberi perhatian khusus dan yang harus diabaikan agar wawancara tetap fokus pada tujuan awal.

Konselor adaah leader dalam proses wawancara

  1. Body Language : Attentive and authentic

Attentive yaitu ketertarikan untuk terlibat dalam wawancara. Umumnya muncul dari sikap tubuh dan ekspresi wajah klien. Authentic yaitu sikap apa adanya, jujur, asli, yang dimunculkan selama wawancara. Tidak berlebihan dalam merespons informasi yang diberikan klien.

Jenis pertanyaan yang diajukan dalam wawancara

 

  1. Closed question / pertanyaan tertutup

Closed question adalah pertanyaan yang merujuk pada jawaban tertentu, bersifat mengarahkan. Jawaban dari closed question ini akan pendek dan sebatas ‘ya’ dan ‘tidak’.

Terkadang akan menjadi leading question dan membuat klien merasa konselornya memiliki agenda tertentu pada kliennya. Oleh karena itu pertanyaan tertutup tidak boleh digunakan di awal wawancara. Closed Question Boleh digunakan, bila konselor merasa perlu meyakinkan diri mengenai apa yang ia

tangkap dari klien.

 

  1. Open question / pertanyaan terbuka

Pertanyaan terbuka sifatnya tidak mengarahkan. Klien lebih dibebaskan untuk mengekspresikan perasaan, pemikiran, ide, dan penghayatan yang dimiliki. Dengan open question kita akan mendapatkan informasi yang lebih kaya dari klien. Pertanyaan terbuka dapat digunakan dengan menggunakan kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ saat mengawali kalimat tanya yang di sampaikan. Jenis pertanyaan terbuka ini memberikan kesan bahwa konselor berupaya memahami permasalahan atau informasi yang dimiliki klien dengan lebih mendalam.

 

Perilaku verbal dan non verbal

 

Perilaku Non Verbal

(a) Ekspresi wajah; alis dinaikkan, bibir dirapatkan, bibir menganga, senyuman, tawa, kernyitan dahi, dan sebagainya yang merefleksikan emosi klien.

(b) Bahasa tubuh; postur tubuh, posisi duduk, gerakan

tangan, gerakan kaki, tarikan napas, dsb.

(c) Hindari stereotype; tidak cepat menentukan, menilai, dan menginterpretasi alasan klien bertindak demikian.

Perilaku verbal

(a) Sellective attention and key words yaitu perlu memperhatikan kata yang ditekankan oleh klien (biasanya berulang) yang mengindikasikan hal tersebut penting bagi dirinya.

(b) Ada potensi klien atau yang diwawancarai akan mengulang cerita yang dianggapnya senang bagi pewawancara untuk di dengar, sehingga pewawancara perlu mengontrol ekspresi yang ditampilkan selama wawancara berlangsung.

 

 

Pewawancara harus mewaspadai diskrepansi antara tindakan verbal dan nonverbal klien selama wawancara. Diskrepansi berarti apa yang dibicarakan dengan ditampilkan berbeda.

Inkongruensi bisa mengindikasikan bahwa klien merasa tidak nyaman untuk mendiskusikan masalah tertentu atau bahwa klien tidak sepenuhnya bersikap jujur dan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Inkongruensi berkaitan dengan bina rapport yang menentukan klien dapat mempercayai konselor atau tidak.

 

Demikian artikel singkat tentang Teori attending behavior sebagai salah satu keahlian yang harus dikuasai oleh konselor. Semoga artikel Teori attending behavior ini bermanfaat.

admin No Comments

Materi Pengantar Konseling: Definisi, Tahapan, dan Keterampilan Penunjang

Materi Pengantar Konseling. Apa yang terpikirkan saat kita mendengar kata “Konseling?” Secara umum konseling bisa dipahami sebagai proses interaksi antara konselor dan klien untuk membantu klien menyelesaikan permasalahannya. Ada beberapa point dari konseling yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Konseling merupakan suatu hubungan yang bersifat membantu.
  2. Terdapat interaksi antara konselor dan klien.
  3. Konseling merupakan sebuah proses.
  4. Dilakukan secara profesional
Materi Pengantar Konseling: Definisi, Tahapan, dan Keterampilan Penunjang

Materi Pengantar Konseling: Definisi, Tahapan, dan Keterampilan Penunjang

Memahami arti Konseling

Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Sedangkan menurut Brammer dan Shostrom (1982) menjelaskan bahwa konseling adalah suatu perencanaan yang lebih rasional, pemecahan masalah, pembuatan keputusan intensionalitas, pencegahan terhadap munculnya masalah penyesuaian diri, dan memberi dukungan dalam menghadapi tekanan-tekanan situasional dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil akhir dalam proses konseling adalah :

  1. Pemecahan Masalah
  2. Penyesuaian Diri terhadap masalah yang dihadapi
  3. Pertumbuhan Pribadi menjadi lebih baik
  4. Mendapatkan Insight dari masalah yang dihadapi
  5. Mendapatkan dukungan

 

Komponen utama dalam konseling

 

Cavanagh dan Levitov (2002) menyimpulkan konseling memiliki empat komponen utama, yaitu hubungan, masalah, tujuan, dan treatment.

  1. Hubungan

Hubungan yang dimaksud adalah hubungan antar konselor dengan konseli. Pentingnya hubungan dalam konseling telah lama digali oleh para ahli psikologi seperti Freud, Rogers, dan Sullivan. Dalam hubungan konseling, konselor mengembangkan berbagai sikap seperti empati, terbuka, hangat, unconditional positive regard (hal positif tanpa syarat), sehingga hubungan yang dibuat antara konselor dan konseli dapat menjadi sebuah instrumen yang dapat membantu.

  1. Masalah

Masalah merupakan komponen penting dalam konseling. Berbagai teknik konseling yang dikemukakan oleh para ahli pada dasarnya bertujuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi, dan menyelesaikan masalah yang dialami oleh konseli.

  1. Tujuan

Tujuan konseling bervariasi sesuai dengan orientasi teoritis dan masalah konseli. Beberapa teori menekankan pada perubahan kognisi dan pemahaman. Teori lainnya menekankan pada perubahan emosi dan perilaku. Ada juga teori yang bertujuan pengembangan dan pertumbuhan individu.

  1. Treatment

Treatment dalam hubungan konseling dilaksanakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam proses konseling. Pelaksanaan treatment sangat bergantung pada permasalahan konseli dan pendekatan yang digunakan. Intinya, hubungan dalam konseling bersifat membantu (helping relationship), bukan memberi (giving) atau mengambil alih pekerjaan.

Hubungan konseling tidak bermaksud mengalihkan pekerjaan klien kepada konselor. Tetapi konselor perlu memotivasi klien untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dalam mengatasi masalahnya.

 

Hal yang perlu dihindari sebagai konselor

Sikap-sikap yang perlu dihindari konselor dalam hubungan konseling

1.Sikap acuh tak acuh

2.Tidak sabar dan amarah

3.Terus memberi nasehat

4.Tepengaruh secara emosional

5.Tidak kreatif

Sikap yang perlu dihindari sebagai seorang konselor

Sikap yang perlu dihindari sebagai seorang konselor

Hal yang perlu dimiliki sebagai seorang konselor

Menurut Carl Rogers, ada 3 komponen dasar yang dimiliki konselor berkaitan dengan kualitas hubungan konselor dengan klien. Yaitu : kongruensi (congruence), Empati (empathy), perhatian positif tanpa syarat (Unconditional positive regard).

  1. Kongruensi (congruence)

Seorang konselor yang efektif harus mampu membedakan individu yang menunjukkan dirinya secara sesungguhnya. Konselor perlu mengatakan apa yang ingin dikatakan. Sehingga, ada keselarasan antara apa yang dirasakan dan dimunculkan dalam ekspresi.

  1. Empati (empathy)

Komponen dasar empati merupakan kemampuan seorang konselor untuk mengetahui dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh konseli. Empati sangat berbeda dengan simpati.

  1. Perhatian positif tanpa syarat

Seorang konselor dapat menerima bahwa konseli yang dihadapi memiliki nilai-nilai yang berbeda dari yang dimiliki konselor

Konseling Remaja

Geldard (2012) menjelaskan bahwa, konseling remaja merupakan proses bantuan yang dilakukan seorang individu dengan sikap, keyakinan, dan respon uniknya masing-masing dalam menghadapi masalah remaja. Konselor harus bekerja secara kolaboratif dan proaktif dengan masing-masing remaja. Menghargai mereka sebagai individu dan mengundang mereka terlibat aktif dalam memilih strategi dan intervensi konseling yang menarik dan bermanfaat baginya.

Sebagai konselor, sangat penting untuk memahami karakteristik dan perkembangan remaja. Setiap fase perkembangan manusia memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari fase-fase pertumbuhan yang lain. Termasuk pada tahap perkembangan remaja. Stanly Hall, psikolog asal Amerika menyatakan bahwa fase remaja adalah fase “storm-and-stress” (Pergolakan dan Stress).

Pada fase remaja, terjadi peralihan lingkungan dari keluarga ke dunia luar. Sehingga muncul konflik-konflik dalam interaksi sosial.

Sehingga ada perbedaan penanganan konseling pada Anak dan Remaja serta pada orang dewasa. Konselor perlu memahami hal tersebut dan melakukan sikap terhadap klien yang akan ditemui. Apakah kepada anak-anak, remaja atau kepada orang dewasa.

Konselor yang paling sering berhubungan dengan anak dan remaja adalah konselor sekolah. Hal ini karena sebagian besar waktu remaja dihabiskan di sekolah dan konselor sekolah memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan observasi dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi remaja.

Pada orang dewasa, tingkat keberfungsian kognitif lebih matang. Orang dewasa relatif memiliki kebebasan dalam membuat pilihan dan mengambil keputusan. Sedangkan pada anak dan remaja, cenderung tidak banyak memiliki kebebasan mengambil keputusan dan pilihan. Hal ini karena remaja cenderung secara kognitif dan kepribadian masih belum matang. Pada usia remaja, mereka lebih terikat pada proses pendidikan dan norma keluarga. Sehingga, hasil konseling berdampak pada proses pendidikan dan pengembangan diri remaja.

 

Tahapan Konseling pada Remaja

Brammer, Abergo & Shostrom (2011) menjelaskan bahwa tahapan konseling pada remaja yaitu;

  1. Membangun Hubungan
  2. Identifikasi dan Penilaian Masalah
  3. Memfasilitasi Perubahan Konseling
  4. Evaluasi dan Terminasi

 

Keterampilan-keterampilan penunjang yang perlu dikuasai Konselor

  1. Attending Behavior. Mencakup komponen kontak mata, bahasa lisan/verbal, bahasa tubuh, dan kemampuan mendengarkan. Manfaat dari attending behavior yaitu meningkatkan harga diri klien, memberikan rasa aman, klien merasa diterima dan dihargai, serta membuat klien mau terbuka dan percaya.
  2. Mengklarifikasi. Konselor perlu mengajukan pertanyaan ke klien sampai diperoleh gambaran yang jelas terkait permasalahan yang dialami klien.
  3. Paraphrasing. Menyampaikan dengan kata-kata sendiri apa yang ditangkapnya dari klien
  4. Reflection. Mengekspresikan kembali perasaan, pikiran sikap dan pengalaman klien

 

Masalah yang Menghambat Proses Konseling

Masalah yang datang dari konselor biasanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, usia dan pengalaman, serta kebudayaan, bahasa dan agama.

  1. Pengetahuan dan Keterampilan.

Konselor seringkali dihadapkan pada banyak teori tanpa mendapatkan keterampilan khusus agar dapat bekerja utuh.

Permasalahan yang sering terjadi pada konselor yaitu kurangnya keterampilan

Permasalahan yang sering terjadi pada konselor yaitu kurangnya keterampilan

  1. Usia dan Pengalaman

Usia dan pengalaman merupakan salah satu hal yang mungkin saja bisa jadi masalah atau hambatan dalam proses konseling. Klien melihat bahwa usia dan pengalaman konselor mempengaruhi klien untuk lebih mantap dalam mengambil keputusan. Hal ini dikarenakan konselor yang memiliki usia dan pengalaman yang mencukupi dilihat sebagai orang yang bijak.

  1. Kebudayaan, Bahasa dan Agama

Kebudayaan, bahasa, agama seringkali membuat ”gerakan” konselor terbatas. Hal ini menjadi masalah karena konselor belum sepenuhnya memahami budaya, bahasa atau agama klien. Pada kenyataannya setiap klien memiliki bahasa, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Sehingga membuat klien mempunyai nilai yang berbeda. Hal ini berpengah terhadap bagaimana klien dalam berpikir dan mengambil keputusan, serta berperilaku. Perbedaan nilai itulah yang harus konselor pahami.

 

Masalah yang datang dari Klien

Seringkali konseling tidak berjalan dengan lancar dan tidak berhasil disebabkan karena klien tidak kooperatif. Beberapa klien punya mental block, atau tidak mau mengosongkan gelasnya. Sedangkan beberapa masalah yang datang dari klien berkaitan dengan gaya komunikasi. Berikut adalah beberapa hal pada klien yang menghambat jalannya konseling. Yaitu;

  1. Membisu, tidak mau bercerita
  2. Tidak Serius
  3. Berbicara Berlebihan
  4. Mendebat
  5. Intelektualisme
  6. Menolak Bekerjasama

 

Apa beda Konseling dan Bimbingan?

Sekilas walaupun tampak sama, konseling dan bimbingan adalah dua hal yang berbeda.

Konseling

Tujuan konseling yaitu untuk membangun insight klien. Masalah berkaitan dengan Ketidakmampuan klien menghadapi stressor, adaptasi, dan masalah gangguan psikologis. Proses konseling untuk membantu memahami masalah klien. Sedangkan terkait waktu, konseling dilakukan dalam satu sesi atau beberapa sesi sampai permasalahan klien menemukan titik terang. Siapapun bisa menjadi konselor, dengan beberapa latar belakang pendidikan dan menguasai dasar-dasar & teknik konseling. Namun hanya profesi psikolog yang diijinkan memadukan konseling dengan terapi di dalam sesi konseling.

Bimbingan

Ditujukan untuk memberi info, mengarahkan, menunjukkan jalan, menuntun, mengarahkan, dan memberikan nasihat. Masalah berkaitan dengan bimbingan biasanya berhubungan dengan bidang pendidikan dan bidang karir. Dalam proses bimbingan dilakukan untuk mengajarkan, dan memberi nasehat. Peran pembimbing dilakukan oleh guru, Teman, Keluarga, tokoh agama, pimpinan, dan pihak yang memiliki jabatan atau posisi.

 

Kapan kita perlu merujuk klien ke profesional lain?

Perlunya merujuk ke profesi lain atau rekan lain jika kita sebagai konselor dirasa buntu dalam membantu klien menyelesaikan masalahnya. Disamping itu, jika konselor merasa bahwa permasalahan yang dihadapi klien perlu didukung oleh terapi dan obat. Maka, klien perlu dirujuk ke profesi lainnya.

Konselor perlu merujuk ke Psikolog, jika terdapat masalah psikologis yang meliputi depresi, kecemasan, masalah perilaku. Sedangkan konselor perlu merujuk ke Psikiater jika ada gangguan mental berat, halusinasi, atau gangguan mental diiringi gejala fisik tertentu, serta gangguan fungsi otak.

 

Sumber referensi

Mulawarman, Ph.D. 2016. Pengantar Psikologi Konseling Jurusan Bimbingan Dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.